Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

seolah-olah lebih “berbudaya”

Written in

by

2000_ September _Edisi 116_gaya:
seolah-olah lebih “berbudaya”
Ade Tanesia

Etalase kesenian sebagai gaya hidup.
Di jaman Belanda, mengunjungi pementasan music klasik, pertunjukan opera, balet di Gedung Schouwburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta), merupakan sebuah gengsi. Pasalnya, disanalah tempat berkumpul kalangan elit, baik para pejabat colonial, pengusaha besar, maupun tuan-tuan tanah. Schouwbturg juga menjadi ajang pementasan internasional, tercatat tahun 1833 rombongan sandiwara dari Perancis pimpinan Minard menggelar kiprahnya. Tahun 1837,.Pangeran Hendrik dari Negeri Belanda juga sempat mampir menonton pertunjukan di gedung tersebut. Tidak heran jika nilai ruang Shouwburg sangat bergengsi. Dalam kemasan yang berbeda, gaya hidip semacam ini tetap beralangsung hingga kini.
Mengkonsumsi seni tentunya bukan sekedar membeli lukisan atau memesan tiket pertunjukan. Hadir dalam ruang peristiwa-peristiwa kesenian atau budaya, juga sebuah bentuk konsumsi. Saat ini, ruang-ruang yang memproduksi peristiwa semacam itu tumbuh dengan label kantung budaya. Yang kini cukup aktif antara lain, Teater Utan KAyu, Teater Populer, Rumah Seni Cemeti, Taman Ismail MArzuki, Galeri Lontar, Gedung Kesenian Jakarta, Teater Tanah Airku, dan lain-lain. Sebagai ilustrasi, di masa lalu, ruang semacam ini dapat kita jumpai di dalam Kraton, Misalnya di halaman Kraton Yogyakarta terdapt bangunan koepel untuk tempat bermain music klasik. Di sana terdapat abdi dalem pemain music barat yang bertempat tinggal di kampong Musikanan. Tentu saja yang dating ke tempat ini adalah kalangan elit seperti kaum bangsawan, kaum indo, tamu-tamu terhormat dan pejabat colonial Belanda.

Dalam ruang ini, bukan hanya peristiwa budaya yang diproduksinya, tapi juga sebuah gaya hidup. Nilai lebih yang termuat dalam ruang ini biasanya ditandai dengan adanya tokoh-tokoh terpandang. Seorang teman bercerita bahwa dalam sebauh acara budaya, seorang budayawan terkenal Indonesia disalami oeh banyak orang yang seakan-akan akrab dengan dirinya. Padahal mata penyair itu walaupun tetap berusaha ramah mmpertanyakan siapakah orang-orang yang baru sajabersalaman dengan dirinya. Nampaknya banyak orang ingin menjadi bagian dari komunitas tokoh terpandang, karena bis memunculkan citra “lebih berbudaya” atau “lebih intelek”.Datang ke berbagai acara recital piano, menonton pertunjukan balet, menghindari pembukaan pameran seni rup, merupakan salah satu atribut yang dipilih seseorang unutk menyatakan dirinya bagian dari kelas tertentu. Di Yogyakarta, ada ungkapan “selebritis” untuk menunjuk pada tempat-tempat bertemunya para budayawan dan seniman-seniman terkenal yang muncul di media massa. Pada dunia seni rupa di Indonesia, pertengahan tahun 1980-an terjadi boom seni rupa. Artinya, banyak orang-orang berduit yang membeli karya seni rupa dengan harga puluhan hingga ratusan juta. Oleh sebagian pengamat, gejala ini dibac sebagai kecenderungan perilaku kelas atas untuk memperkokoh statusnya. Bahwa sebagai bagian dari kalangan atas, mereka haruslah memiliki karya seni, menghadiri pameran kesenian dan seolah-olah memahami kesenian. Dengan memahat citra itu, maka lengkaplah symbol-simbol yang dibutuhkan untuk memperkokoh status mereka.

Gaya hidup semacam ini memperlihatkan bagaimana sebuah gengsi dan status tidak dibentuk dari dalam diri seseorang melalui hasil karya. Sebaliknya gengsi dikejar secara instan melalui cara menempel pada berbagai symbol kebesaran orang lain. Sebagai contoh, duduk ngobrol bersama Gunawan Muhammad bisa membangkitkan sebuah kepercayaan diri atau membangun identitas seseorang. Budaya patrom nampaknya masih kental dalam kehidupan social di negeri ini, yaitu ketika ketokohan seseorang menjadi pusat acuan yang akhirnya melahirkan komunitas pendukungnya. Walaupun tak ada keuntungan materi yang menyertainya, tetapi berada dalam lingkarannya memperoleh identitas dengan citra “adiluhung”.
Hal ini sangat…sangat wajar, namun akhirnya lingkup seni menjadi tidak populis, malahan sangat eksklusif. Ruang-ruang yang mengedepankan citra “adiluhung” justru sedang membangun tembok yang tidak semua orang bisa mengaksesnya. Sehingga sangat aneh, jika banyak seniman atau budyawan yang masih saja mengeluh tentang minimnya apresian kesenian di negeri ini. Bukanlah mereka sendiri yang membangunn tembokitu. Sayang sekali, jika ruang-ruang kessenian tersebut hanya dikonsumsi untuk memahat citra gengsi seseorang. Padahal jalur kesenian dan budaya sebenarnya dapat menjadi kekuatan bersama untuk memerdekakan seseorang.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *