Resensi Atas Novel Terbaru Sindhunata
Oleh MARIA HARTININGSIH
Kompas, Minggu, 23 September 2007
Judul Buku: Putri Cina
Pengarang: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 304
Harga: Rp 50.000
Antara mitos dan sejarah
Kisah Putri Cina merupakan pergumulan eksistensial menyangkut
identitas-identitas : Siapa dia sesungguhnya dan mengapa ia bernama
Putri Cina? Di manakah ia ketika tiada lagi wajahnya? (hal 13)
Sebagian narasi dalam buku ini menggunakan bahasa indah, tidak
mengada-ada dan sangat dalam tentang kejawaan. Dialog antara Putri
Cina dan Sabdapalon-Nayageng gong dalam beberapa hal mengingatkan
pada pemikiran Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan dan
pandangan Elie Wiesel tentang kejahatan tersembunyi di dalam diri
manusia, yang membuat manusia tega berlaku keji pada siapa pun.
Dalam Putri Cina, Sindhunata memasuki wilayah yang tak bisa
dikatakan sepenuhnya sebagai mitos. Bagian yang dikembangkan menjadi
novel ada dalam disertasi antropolog Nancy K Florida dari
Universitas Michigan, AS, diterbitkan dalam buku Writing the Past,
Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java (1995).
Naskah Babad Jaka Tingkir yang tersimpan di Keraton Surakarta itu
ada kaitannya dengan Pakubuwana VI, yang lenyap dalam pembuangan
Belanda tahun 1830. Kisah Jaka Prabangkara yang membuka kisah Putri
Cina adalah bagian dari babad tersebut.
Jaka Prabangkara adalah anak Prabu Brawijaya dari seorang selir,
yang dibuang ke Cina oleh ayahnya setelah titah sang ayah melukis
permaisurinya, Putri Cempa, terlihat begitu sempurna, sampai kepada
noda hitam di ujung pahanya.
Prabangkara akhirnya menjadi menantu Maharaja Kaisar Cina,
menurunkan banyak anak-cucu, yang nantinya berlayar menuju ke tanah
leluhurnya, Tanah Jawa. Putri Cina adalah keturunan Prabangkara.
Ada dua Putri Cina dalam novel ini. Yang pertama adalah Putri Cina
yang diceraikan Prabu Brawijaya, ibu dari Raden Patah, penguasa baru
Tanah Jawa yang kelak menggulingkan sang ayah. Dia membawa Tanah
Jawa menapaki zaman baru, dan oleh para wali diminta menjadi
jembatan antara Jawa Lama menuju Jawa Baru, antara agama lama menuju
agama baru.
Putri Cina lainnya adalah Giok Tien, pemain ketoprak Sekar Kastubo.
Hampir setengah bagian terakhir mengeksplorasi kisah Giok Tien,
termasuk kisah cintanya dengan pemuda Jawa bernama Setyoko, suami,
yang kelak menjadi Senapati Gurdo Paksi di Kerajaan Medang Kamulan
Baru.
Di sini mitos dan sejarah bergulat menjadi kenyataan hidup. Peran
Eng Tay yang dilakonkan Giok Tien dalam ketoprak Sam Pek-Eng Tay
adalah lakon hidupnya sendiri. Cinta yang mengikat, cinta pula yang
memisahkan. Seperti kesia-siaan.
Akan tetapi, adakah kesia-siaan ketika kita menyaksikan kupu-kupu
cinta tak lagi memisahkan Jawa dan Cina, kupu-kupu kuning yang mati
di utara, memanggil hujan yang menyegarkan dan menyuburkan tanah;
kupu-kupu Putri Cina yang mengubah bunga-bunga kematian menjadi
kehidupan dan menaburkan permata berupa buah-buah doa ke seluruh
dunia.
Novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang
selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu
menghadapi beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam.
Identitas menjadi permainan politik. Di situ, memakukan identitas
tunggal tak hanya berbahaya, tetapi juga kejam.
Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks politik yang
berbeda-beda. Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi
waktu itu (hal 149-150). Sejarah kontemporer mencatat
pengambinghitaman etnis Cina sejak tahun 1740 (hal 85-86).
Sebuah novel menawan, dengan mengabaikan gambar sampulnya.
Ilusi identitas
Novel ini membawa pesan: identitas tunggal adalah ilusi.
Siapa Cina? Siapa Jawa? Nilai kemanusiaan kita ditantang ketika
keberagaman manusia dimampatkan ke dalam satu sistem kategorisasi
tunggal yang sewenang-wenang (Amartya Sen, 2007).
Ironisnya, identitas selalu dijadikan locus politik. Pijakannya
kultur. Padahal, kebudayaan bertumbuh dari perjumpaan antarmanusia.
Lakon ketoprak Sam Pek-Eng Tay hanyalah satu contoh dialog dalam
kebudayaan. Tak ada sekat. Sedangkan ciri fisik hanyalah “kulit”
ketubuhan yang membalut pikiran dan jiwa; “dunia kecil” dalam “dunia
besar” bernama Semesta yang dibahas sangat dalam di buku ini.
Saya membaca Putri Cina dengan ingatan pada karya Sindhunata,
Kambing Hitam (2006). Di situ ia tak menolak “identitas” yang
didefinisikan pihak di luar dirinya, tetapi merengkuhnya sebagai
kerinduan terdalam hati manusia akan sebuah tanah air abadi, yang
damai dan tenteram, yang tak pernah memisah-misahkan manusia lagi.
Dan identitas? Pada halaman 302-303, penyair Tao Yuan Ming
mengatakan, “Tak berakarlah hidup manusia ini, seperti debu jalanan,
kita beterbangan, dibawa angin, ditebarkan ke mana-mana.”
Leave a Reply