1999_Oktober_Edisi 105_selip:
Pensiun
Kompas
Bagi sebagian orang, masa pensiun merupakan momok menakutkan. Pensiun masih dimaknai sebagai peristiwa “kehiangan”. Kehilangan pekerjaan, kehilangan kekuasaan, kehilangan peran sosial di masyarakat, kehilangan masa muda dan, berkurangnya penghasilan. Hal itu sering mengakibatkan munculnya rasa kesepian, frustasi, atau berbagai perubahan emosi lainnya. Keresahan menjelang pensiun merupakan hal wajar di setiap masa peralihan, sehingga dibutuhkan “ritus” atau persiapan untuk menghadapinya. Banyak kantor mengadakan pelatihan pensiun bagi pegawai usia 50 tahun yang membahas persiapan psikologis, juga pemecahan masalah ekonomi misalnya dengan tips-tips investasi yang tidak terlalu beresiko. Seorang psikolog bernama Kutner mengatakan perlu diadakan kesinambungan kegiatan untuk menggairahkan semangat hidup kaum pensiunan, misalnya aktif di kegiatan sosial bersama teman-teman usia sebaya. Dengan cara ini, seseorang diharapkan tidak mengalami konflik neurotis, dan mampu menerima kenyataan pensiun.
Namun sebenarnya kecemasan di masa pensiun juga dipengaruhi oleh faktor budaya dimana seseorang tinggal. Setiap masyarakat mempunyi makna berbeda terhadap usia tua, misalnya di negara-negara barat ada istilah “kehidupan dimulai saat usia 40 tahun.” Kerangka berpikir semacam ini tentunya akan menanamkan kepercayaan diri seseorang menjelang usia 50 tahun. Masa depan tidak berhenti, impian terus berjalan, sehingga begitu banyak yang masih bisa dikerjakan oleh seseorang di usia pensiun. Dengan kata lain, pensiun dari kantor tak menjadi beban, bahkan seseorang masih bersemangat untuk menjalani karir kedua. Hal ini banyak terjadi pada generasi Baby Boomers di Amerika, yang tetap merasa mudah di usia 60 tahun. Di Indonesia sendiri, masih kuatnya keluarga luas (extended family), cukup memberikan rasa aman bagi orang tua. Bagi kalangan bisnis, kelompok usia pensiun merupakan pangsa pasar yang potensial, sehingga berkembang paket perjalanan khusus pasangan usia 60-an. Bahkan muncul program-program televis menarik untuk kelompok pensiunan, yang juga memperoleh sponsor dari perusahaan raksasa.
Di samping faktor budaya, ketiadaan kebijakan negara juga menentukan kadar kekuatan seseorang menjelang pensiun. Di negeri ini, tidak ada kebijakan jaminan sosial bagi seluruh warga lanjut usia, seperti halnya social security system di Amerika. Ketentuan tunjangan pensiun biasanya tergantung pada kebijakan perusahaan. Hanya untuk profesi pegawai negeri ada UU dari negara, dimana mereka akan memperoleh pensiun sebesar 40-75% dari gaji terakhirnya. Pensiun menjadi benda mewah di tengah ketidakpastian orang berlomba-lomba menjadi pegawai negeri untuk meraih fasilitas di masa tua.
Kalau siklus kerja berhenti!
Parker (1982), seorang ahli psikolog menegaskan bahwa pensiun merupakan peristiwa berhentinya seseorang dari masa bekerja. Hal ini disebabkan, secara bilogis, tubuh manusia mengenal siklus kerja yang mengharuskan dirinya beristirahat di usia tertentu. Yang menjadi persoalan adalah masa transisi dari kondisi bekerja ke kondisi yang lebih banyak waktu luangnya. Padahal setiap orang pun tahu, bahwa bekerja punya arti penting untuk eksistensi seseorang. Turner dan Helms menuliskan, pensiun mengakibatkan seseorang merasa banyak kehilangan, yaitu: kehilangan sumber keuangan (loss of finance), kehilangan harga diri (loss of self), kehilangan kontak sosial yang berarti (loss of meaningful tasks). Tak heran jika untuk sebagian orang, pensiun sama dengan momok yang menakutkan. Untuk mengatasinya, diperlukan sebuah kesinambungan kegiatan untuk menggairahkan semangat hidup para pensiunan. Kutner (1970) pada penelitiannya terhadap 500 responden usia lanjut di kota New York menemukan bahwa kelompok pensiunan yang bekerja mempunyai semangat hidup lebih tinggi dibanding yang sama sekali tidak bekerja.
Rasa kehilangan sebenarnya tak perlu terjadi, karena banyak orang yang justru memiliki “karir kedua” setelah pensiun kerja. Salah satunya adalah Thomas Wyatt, seorang pensiunan colonel AD di USA membuktikan bahwa usia pensiun ternyata bukan penghalang untuk memperoleh peran baru di masyarakat. Ia menulis sebuah novel, memberi konseling pada korban perkosa dan belajar menjadi pembantu pendeta di Episcopal Chruch. “Saya selalu punya hal untuk dilakukan, dan saya terus mengerjakannya,” ujarnya. Hal ini yang serupa terjadi pada Merlin Pertzold, pensiunan teknisi generasi motor ini telah mengubah dunia dengan menciptakan telepon bagi orang cacat. Temuannya ini diilhami oleh Nadine, isterinya yang cacat. Ia melengkapi telepon standar dengan tabung-tabung dan sedotan, agar pengguna cukup meniup untuk dial. Kini produknya telah dipasar di seluruh Amerika, Peru, bahkan sampai ke Saudi Arabia. John Wallach, seorang jurnalis di Timur Tengah yang sudah kenyang menyaksikan kekerasan dan pertumpahan darah, di usia pensiunnya mengadakan Seeds of Peace, yaitu program perkemahan musim panas di hutan Maine dan mengajak pemimpin Palestina, Israel dan Mesir untuk mengirimkan pemuda mereka untuk tinggal bersama, bekerja dan saling bertukar pikiran. Hingga saat ini sekitar 300 anak sudah mengikuti perkemahan ini dan banyak yang masih punya kontak, “Saya merasa lebih bahagia. Saya manfaatkan segala kontak dan kemampuan untuk mengarahkan perhatian dunia pada apa yang kami lakukan, karena program ini memperlihatkan bahwa perdamaian bukan hal yang utopis di kondisi yang paling muram sekalipun,” tegasnya. Ternyata, jika kita masih memiliki mimpi, kadang usia pun tak cukup mampu unutk mewujudkannya. Berarti sebenarnya, tak ada selesai dalam kata bekerja, siklus terus berjalan dalam bentuk yang berbeda.
“Retirement means the end of the formal work and the beginning of the new role in the life, one has it’s own behavioral expectations and requires an redefinition of the self”.
Leave a Reply