1999_Agustus_Edisi 103_peduli:
Pengungsi
Sulit menemui negara atau wilayah yang mau berlapang dada menerima pengungsi. Tk heran jika Persatuan Bangsa-Bangsa merasa perlu unutk mendirikan divisi yang menangani masalah pengungsi.Pengungsi PBB (UNCHR), pengungsi adalah semua orang ang berada pada kondisi terancam karena dianiaya dengan alasan ras, agama, keanggotaan pada kelompok sosial, juga kondisi peperangan dan bencana alam.
Berdasarkan batasan ini, maka gejala pengungsian disimpulkan telah berlangsung sejak masa sialm. Diantaranya, perpindahan orang Yahudi dari Mesir ke Yerusalem. Kejatuhan Roma yang menyebabkan sebagian besar raknyatnya pindah mencari daerah yang lebih aman. Tahun 1922 kegagalan invansi pasukan Yunani di Turki Asia Kecil melahirkan 1 juta pengungsi. Kerika RRC terbentuk di tahun 1949, sekitar 2 juta warga Cina melarikan diri ke Taiwan, Birma, Vietnam, Jepang, Laos, India, dan Macau. Masih juga terekam dalam ingatan manusia, bagaimana 600.000 orang Yahudi harus terpaksa mengungsi dan keluar dari Jerman di masa kekuasaan Hitler. Di tahun 1972 tercatat 4.500.00 orang Vietnam menjadi pengungsi hingga mendapat julukan manusia perahu. Di akhir abad 20, antara tahun 1991-1995 dua setengah juta orang terusirdari Bosnia Herze govina dan Kroasia. Dan kini persoalan pengungsi tengah melanda bangsa kita, tercatat akibat kerusuhan di Ambon terdapat sekitar 60.000 pengungsi enggan kembali ke desanya akibat masih rawannya kekacauan. Akibat kekerasan di Timor-Timur kini terdapat 12.200 pengungsi yang mencari tempat aman. Juga 12.000 pengungsi di Sambas akibat kerusuhan etnis, kini dalam keadaan tak terurus.
Selain tercerabut dari tanah asalnya, kehidupan para pengungsi tentunya sangat mencemaskan Di Maluku, 95% pengungsi hanya tidur beralaskan tikar, selebihnya meletakkan tubuhnya di atas kursi dan meja. MCC dilakukan di sembarang tempat dan mereka juga terpaksa minum dari air hujan. Di Sambas sudah 40 pengungsi yang meninggal, hal serupa juga terjadi di Tim-Tim yaitu sebanyak 85 pengungsi. Ada pula persoalan diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan pengungsi. Seorang petugas PBB, John Telford yang sedang membagikan makanan kepada pengungsi Kurdi sanagt terkejut , karena keluarga yang dipimpin oleh wanita ternyata tak menerima jatah makan tersebut. Juga yang tinggal di tenda-tenda kerap mengalami pemerkosaan dan kekerasan seksual. Oleh karena itulah PBB kemudian memberikan perhatian ekstra terhadap pengungsi perempuan dan anak-anak.
Kini apakah akan dilakukan unutk mengurangi beban para pengungsi? Paul Weiss, seorang ahli masalah pengungsi dari PBB mengatakan “meskipun masalah pengungsi sudah seklasik usia kehidupan manusia, namun baru setelah revolusi Rusia terdapat lembaga internasional yang memperhatikan pengungsi”. Tapi kini banyak negara maju yang memiliki perhatian cukup besar pada pengungsi. Misalnya dalam menangani kasus Kosovo sudah mendarat di airport JfK New York. Perserikatan Bangsa-Bangsa pun memiliki berbagai macam program, sperti pemukiman kembali, subsidi pangan dan tempat tinggal. Di Indonesia sendiri, persoalan pengungsi ditangani oleh pemerintah, tapi banyak pula LSM dan lembaga keagamaan yang turut serta memperhatikan nasib mereka. Atas apa yang tengah melanda saudara-saudara kita ini, tergerakkah Anda untuk meringankan penderitaan mereka?
Leave a Reply