2001_Maret_Edisi 122_peduli:
pengungsi kecil
Joni Faizal
Kalau saja anak-anak diberi kesempatan untuk memimpin mungkin tidak akan ada perang di dunia ini….Begitulah suatu kali Filipavic memaki orang dewasa. Filipavic tidak salah. Ia seperti banyak orang di dunia, merindukan kedamaian. Ia sendiri bukan tidak pernah merasai bagaimana kejamnya perang. Tapi lebih dari itu, perang telah merenggut nyawa teman-temannya, waktu bermain, kesempatan belajar, les piano dan segala apa yang menjadi haknya sebagai anak-anak. Itulah gambaran perang Bosnia yang menyisakan catatan muram di tangan anak usia 11 tahun: Zlata Filipavic. Beberapa puluh tahun sebelumnya, saat perang Dunia II, Anne Frank mencatat yang sama, namun lebih tragis, karena ia sendiri harus menebus nyawa dalam kegilaan orang dewasa yang bernama perang.
Kini, apa yang digambarkan Filipavic dan Anne Frank juga terjadi pada anak-anak di Tanah Air. Pertikaian yang terus terjadi di Aceh, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian, akan terus dan telah mengancam apa yang seharusnya menjadi hak-hak dasar mereka secara universal, seperti hak hidup, hak rasa aman dan hak untuk tumbuh kembang. Di samping itu, konflik dan pertikaian sosial juga sebenarnya melanggar hak anak untuk hidup dalam lingkungan keluarga, hak dilingdungi dan diasuh, hak identitas dan kewarganegaraan efektif, hak pendidikan serta prospek masa depan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 22 Konvensi Hak Anak. Lebih jauh anak-anak yang menjadi pengungsi sangat rentan terhadap korban berbagai bentuk bahaya. Tidak jarang diantaranya harus terpisah dari orang tua atau keluarganya. Hal seperti ini tentu akan membawa trauma yang menghancurkan masa depan anak-anak.
Sejauh ini jumlah pengungsi di Indonesia menurut catatan Komnas Perlindungan Anak hingga Mei 2000 tercatat 729.815 jiwa atau 161.666 Kepala Keluarga yang tersebar di 17 propinsi. Dari seluruh jumlah itu 60 persen diperkirakan adalah berusia di bawah 14 tahun dan 60 persennya lagi di bawah 14 tahun itu adalah balita. Namun angka pengungsi rill di lapangan diperkirakan jauh lebih besar dari data tersebut, belum ditambah pertikaian di Sampit beberapa pekan belakang.
Dampak masalah yang timbul di tempat pengungsian sendiri kompleks. Rumah-rumah darurat dan gedung-gedung pemerintah yang dipakai oleh pengungsi, bukanlah rumah yang baik-baik bagi anak-anak. Apalagi kenyataannya tempat tersebut tanpa sekat dan memudahkan penyakit menular. Ditambah lagi sanitasi yang tidak memadai adalah suatu kesukaran yang banyak ditemukan di setiap lokasi pengungsian.
Di sisi lain adalah masalah pangan. Seperti disebutkan dalam seminar “Pengungsi Domestik, Peta Permasalahan Sosial, ekonomi, Politik, Hukum, Keamanan dan Alternatif Penyelesaian secara Simultan” awal Februari lalu, ribuan nasib pengungsi ini mengalami kelaparan. Makanan yang diberikan kepada pengungsi memang ada, namun bertambah hari bertambah sedikit sedangkan bantuan pemerintah tidaklah mencukupi.
Hal penting yang juga paling berat diderita oleh anak dikemudian hari adalah dampak psikologis yang menimpanya. Pengungsi anak harus menghadapi kenyataan bahwa mereka sangat beresiko terkena stress, depresi, hingga gangguan jiwa lainnya. Pengalaman buruk akibat konflik menimbulkan trauma yang mendalam dan paling banyak terjadi pada anak-anak pengungsi. Akibatnya, banyak anak-anak yang terhambatnya perkembangan mentalnya, kesulitan tidur hingga mimpi buruk sepanjang waktu. Selain itu, gairah anak-anak untuk bermain menjadi sukar dan tidak sedikit pula yang akhirnya mengalami kesulitan belajar serta beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Ulah orang dewasa
Anak-anak juga terbiasa dengan kekerasan di sekitarnya, sehingga merasa bahwa kekerasan adalah hal biasa. Yang tidak kalah mengerikan, orang-ornag dewasa di daerah konflik kadang menanamkan pemahaman-pemahaman seperti dendam, rasa bermusuhan dan kekerasan kepada anak-anak.
“Akibat terlalu lama di pengungsian, pengungsi anak melihat kekerasan menjadi fenomena biasa. Dan kadang kekerasan mereka anggap cara menyelesaikan maslah,” ungakap Rahmitha, psikolog di Hotline Masalah Anak, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) di temui [aikon!] di ruang kerjanya.
Rahmitha yang pernah mengadakan survei di lokasi pengungsian Pontianak Nopember tahun 2000 lalu menyebutkan, jarak yang terlalu lama antara penanganan psikologis dengan waktu terjadinya konflik, membuat anak-anak bertambah sulit untuk ditolong.
Pananganan yang dilakukan terhadapa anak-anak di berbagai daerah pengungsi memang telah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga Internasional dan LSM-LSM lokal maupun lembaga pemerintah. Namun sejauh ini, penanganan tersebut belum menyentuh pada permasalahan anak-anak. Seperti misalnya adapatasi mereka dengan lingkungan barunya, penyembuhan trauma dan masalah psikologis lainnya. Sehingga anak-anak tidak merasa tercerabut dengan akar budaya maupun lingkungan asal mereka.
Di luar masalah penanganan tersebut satu-satunya penolong yang dapat mengembalikan anak-anak pada dunia mereka sebelumnya adalah menghentikan konflik agar anak-anak dapat kembali ke kampung halamannya. Orang-orang dewasa harus berpikir jauh ke depan bahwa anak-anak mereka korban yang paling menderita. Pemerintah dalam hal ini juga harus proaktif dan berupaya secepat mungkin untuk menghentikan pertikaian yang terus berlangsung di Tanah Air. Jika tidak, angka-angka pengungsi anak akan bertambah terus jumlahnya. Dan anak-anak akan terus memaki kita yang katanya dewasa, “apakah kalian tidak dapat berhenti bertikai?”
Leave a Reply