2002_Maret_Edisi 132_Bahas
Muka Air, Seperti Apa Wujudnya?
Rohman Yuliawan
What attract people most, in sum, is other people -William Whyte
Pendapat pengamat masalah perkotaan asal Amerika ini sepertinya benar. Hasrat dasar manusia sebagai makhluk sosial memang selalu ingin berada di tengah manusia lainnya. Itu sebabnya adanya ruang kolektif menjadi keharusan bagi sebuah kota. Runag terbuka bersama tersebut bias saja berupa lapangan, alun-alun, plaza, taman kota atau muka air (waterfront).
Muka air sebagai salah satu bentuk ruang terbuka mungkin masih belum disasari keberadaannya, apalagi peranannya. Padahal, menurut Marco Kusumawijaya, pakar lingkungan binaan, muka air (ruang sepanjang tepi badan air; sungai, laut maupun danau) menyodorkan ruang interaksi bermakna dalam, yaitu menempatkan manusia di hadapan wilayah tanpa batas, alamiah, dan jujur, di mana manusia akan menyadari kekerdilannya di hadapan alam dan, tentu saja, Sang Khalik.
¬¬Potensi kawasan muka air mulai marak dibicarakan pada tahun 1960an, ketika di Amerika muncul kegairahan baru untuk menengok kembali kawasan tepi air, sisi kota yang “terabaikan”. Ann Breen dan Dick Rigby, penulis buku “Waterfronts; Cities Reclaim Their edge.” Menuturkan bahwa di tahun 1950-an pelabuhan-pelabuhan tua di Amerika bagian utara mulai ditinggalkan seiring berkembangnya fasilitas transportasi udara dan sarana pengapalan barang yang lebih moderen di kawasan Amerika bagian selatan. Dan kondisinya semakin memburuk ketika industri dan pemukiman pun memuarakan limbahnya di kawasan pelabuhan tersebut.
Seiring dengan munculnya kesadaran masyarakat akan nilai sejarah kawasan tepi pantai, tempat awal perkembangan kota, dan tumbuhnya kepedulian akan masalah lingkunagan hidup, semangat “menggairahkan kembali” kawasan muka air pun merembak. Kawasan muka air dijadikan ruang dimana khalayak dapat bergaul dengan nyaman. Kemudian muncul Harbour Place di New Hampshire dan Bayside Marketplace di Miami, Florida. Langkah ini kemudian disusul oleh pengembangan muka air di luar Amerika, semisal di sepanjang Sungai Thames yang membelah kota London dan di pelabuhan kota Barcelona.
Sebetulnya, kita pun banyak memiliki kawasan muka air yang berpotensi untuk indah dan nyaman bila memang dipikirkan dengan sungguh-sungguh.
“Contohnya adalah kota Palembang. Sungai Musi yang membelah kota mempertontonkan vitalitas yang mengagumkan, terutama karena aktifitas ekonomi dan sosial yang pernah dan masih berpusar di permukaannya,” tutur Marco.
Masalhanya, muka air dalam benak sebagian besar orang masihlah berfungsi sebagai “halaman belakang” dari suatu kota. Sungai tersu digelontori limbah dan sampah, sementara pantai digerus dan diurug hingga kehilangan daya dukung alamiahnya.
Tidak hanya itu, menjadikan muka air sebagai ruang terbuka nampaknya masih jauh dari kenyataan. Ambil saja contohnya bentang pantai Jakarta yang panjangnya sekitar 30 kilometer itu, apakah masih tersisa darinya secuil ruang public yang ada? Pantai?, sebuah lingkup muka air yang seharusnya menjadi hak public, malah lebih banyak digarap sebagai lahan pemukiman yang hanya bias diakses oleh kalangan terbatas. Kawasan Ancol atau Pantai Indah Kapuk, misalnya, memperlihatkan betapa hak masyarakat umum untuk menikmati bentangan pantai secara bebas telah dibatasi oleh kepentingan pariwisata an modal.
Ironisnya, para pengembang dengan restu pemerintah kota tentunya, dengan berani menyebut kawasan tersebut sebagai “waterfront city”. Padahal sebuah “city”, menurut Marco, mensyaratkan ruang akomodasi bagi kepentingan khalayak, siapa pun dia. Sebuah kota, apalagi yang berpredikat waterfront city, sejatinya lahir dan dibangun oleh kesepakatan-kesepakatan khalayak, bukan oleh segelintir orang yang kebetulan punya kuasa.
“Kota-kota yang dibangun atas kehendak orang banyak, selalu kota pantai atau muara sungai. Ia tumbuh alamiah bersama dengan tumbuhnya perdagangan antar bangsa, antar orang-orang yang berbeda. Sementara kota-kota pedalaman, cenderung dibangun oleh sebuah bentuk kekuasaan yang berusaha membenarkan diri dengan segala bentuk simbol-simbol,” papar Marco. Banyak kota telah terjebak untuk memasrahkan kawasan muka airnya ke tangan modal dan kekuasaan, seperti halnya Jakarta. Muka air diperlakukan tak lebih sebagai komoditas dagang. Akhirnya, ruang terbuka yang terbentuk pun cenderung menyisihkan hak warga untuk menikmati matahari tenggelam di ufuk barat. Muka air pun tak pernah terwujud dengan jelas dan benar di benak sebagian besar warga masyrakat. Karenanya, ia semakin sering disalah artikan dan disalah gunakan.
¬¬Sumber: Been, Aris and Dick RSgby
Watercity: Cities Reclaim Their Edge, Mc Graw-Mtld, 1994; Kusumawijaya, Marco, “Ahli Kota dan Arsitektur.” Arikel untuk Jurnal Arsitektur Indonesia, Jakarta: 2002.
Leave a Reply