2000_Januari_Edisi 108_jelajah:
‘mooi nitiprayan’
Ade Tanesia
Panorama hindia molek (mooi indie) warisan para pelukis Belanda di masa penjajahan, nampaknya masih menempel kuat dalam ingatan kita dan telah membentuk sebuah selera eksotis. Alam Nitiprayan yang terletak di pinggiran selatan kota Yogyakarta memenuhi eksotisme tersebut. Tak heran jika para seniman dan orang asing dari berbagai bangsa datang berlomba unutk tinggal di kampung Nitiprayan. Dalam sepuluh tahun terakhir, kawasan ini telah berkembang pesat dan terkenal dengan sebutan “kampung seniman Yogyakarta, searah dengan daerah keramik Kasongan. Sepuluh tahun silam Nitiprayan masih beralaskan tanah, kini bisa dinikmati mulusnya aspal atau konblok yang di tata rapih di dalam kampung. Untuk sampai di kampung Nitiprayan , kita bisa naik angkutan bis kota yang melewati jalan Patang Puluhan dan Bugisan. Dan selanjutnya, becak atau ojek merupakan kendaraan yang siap mengantar Anda ke Nitiprayan.
Menjadi kampung seniman
Sejak berdirinya Sekolah Menengah Seni Rupa dan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, kampung Nitiprayan banyak didatangi siswa-siswi seni yang ingin mencari pondokan. Kemudian di awal 1990-an, lalu seniman yang mencari kontrakan rumah mulai marak. Mereka adalah seniman lukis atau patung yang ingin memperoleh studio lebih besar serta mencari suasana lebih tenang. Bagi seniman muda yang baru meniti karir, biasanya hanya mengontrak rumah kecil. Sementara seniman-seniman yang karirnya sudah cukup bagus bisa mengontrak rumah lebih besar, mendirikan rumah di atas tanah sewa, atau bahkan membeli tanah disana.
Di tahun-tahun yang sama, kampung Nitiprayan juga diramaikan juga oleh warga dari berbagai bangsa. Setelah Vincent, pria berkebangsaan Perancis yang menjadi orang bule pertama di Nitiprayan di tahun 1988, maka tersebarlah berita keindahan kampung ini ke manca negara, promosi ini hanya dilakukan dari mulut ke mulut. Biasanya warga asing yang mengontrak di kampung ini adalah mereka yang memperoleh visa sosial dan budaya, sehingga tinggal di Indonesia selama 1-2 tahun. Disini, mereka bisa belajar kesenian, mengajar bahasa Inggris di ELTI, atau bahkan ada yang hanya ingin menikmati hidup di negara tropis. Dalam perkembangannya, kawasan para pendatang semakin melebar ke desa sekitar, seperti Bekelan, Keloran, Seboman, dan lain-lain.
Sebenarnya kesenian bukanlah barang baru bagi masyarakat Nitiprayan, sejak dulu daerah ini dikenal sebagai gudangnya seniman wayang kulit dan ketoprak. Salah satunya yang legendaris adalah Bapak Karto Togen, Pak Buang, mereka adalah aktor ketoprak dan pelawak kenamaan Yogyakarta. Warga Nitiprayan pun aktif ikut dalam ketoprak, dan yang kini masih hidup adalah jatilan, seni tradisional jawa. Sayangnya, belum ada kerja kreatfi yang mempertemukan potensi kesenian kampung dengan kesenian yang dibawa pendatang. Hingga saat ini baru terbatas pada acara-acara yang terprakarsai seorang seniman dan mengundang jatilan. Tapi di sisi lain, terjadi jenis kontak lain diantara seniman dan peduduk, misalnya pelukis Putu Sutajaya kadang meminta orang kampung untuk membantu pembuatan patung untuk karya pamerannya. Di saat negeri ini dilanda krisis, pelukis Faisal juga pernah membagi-bagikan sembako berupa beras, gula untuk masyarakat.
“shock culture ??”
Lazimnya sebuah daerah baru, maka adanya persinggungan gaya hidup yang berbeda seringkali mengakibatkan kegelisahan. Bagi penduduk setempat, gaya hidup seniman dan orang bule kadang merisaukan ketemtramannya. Misalnya penduduk cukup resah dengan para seniwati yang sering pulang malam atau orang bule yang sering hidup bersama. “Kadang kita lapor di saat rapat RT, kita menghimbau para pemilik rumah sewaan, agar memperingati pendatang untuk tidak pulang terlalu larut juga memperhatikan waktu berkunjung tamu,”ujar Yono, ketua muda mudi kampung.
Di samping itu, ada sebuah perbedaan dalam menyikapi waktu. Ketika penduduk pagi-pagi sekali berangkat bertani, para seniman masih saja di rumah bahkan kadang masih tidur pulas. Sementara saat penduduk ingin istirahat selepas kerja, mereka justru melek hingga larut malam. “Mulanya penduduk setempat agak bingung menghadapi hal ini, apalagi aktifitas kerja seniman biasanya di rumah atau jalan-jalan naik sepeda. Hidupnya darimana yah? Inilah yang sering jadi pertanyaan,” jeas Yanto. Tapi lama kelamaan mereka pun tahu cara seniman menafkahi dirinya. Bahwa ada seniman yang hidup dari karya lukisnya, atau ada pula yang melakukan usaha pembuatan souvenir dari kayu, keramik; atau seniman yang sering bepergian ke luar negeri. Selain “shock” harga sewa tanah. Sejak ramai pendatang, lonjakan ini memang luar biasa. Tanah yang sebelumnya masih berkisar Rp. 20.000,- – Rp. 30.000,- per meter, kini sudah mencapai Rp. 175.000,- per meter. Harga sewa rumah yang dulunya masih ratusan ribu rupiah, sekarang telah naik menjadi tiga juta per tahunnya. Bahkan kini harga sewa tanah sudah melewati batas Rp. 500.000,- per tahun, padaha dulu hanya sebesar Rp. 100.000,- Menurut Yono, para pendatang kadang tidak menawar harga, sehingga penduduk pun bisa menentukan harga setinggi-tingginya.
Persinggungan gaya hidup ini juga dibarengi dengan persepsi orang desa tentang orang kota. Bahwa apa-apa yang berasal dari kota adalah mewah, nampaknya. Tidak aneh jika kawasan Nitiprayan di dekat sawah sering dilanda kemalingan. Yang menarik, orang-orang kampung kadang mengetahui siapa yang menjadi pelakunya. “Saya tahu, tapi kita ndak bisa apa-apain, karena belum tertangkap basah,” jelas Poniman, penduduk asli Nitiprayan. Gejala ini memperlihtkan belum leburnya jarak antara “mereka dan kami” atau “ penduduk setempat dan pendatang.”
Kalau menjadi daerah pariwisata
Entah mengapa, ide untuk menjadikan Nitiprayan sebagai daerah tujuan wisata hingga kini belum bisa terealisir. Padahal di kampung ini dapat dikembangkan wisata seni dan agrowisata. Untuk wisata seni, bisa dibuat program kunjungan ke studio seniman, melihat pertunjukan jatilan, musik angkringan, atau menikmati cuplikan teater dari sanggar Garasi dan Gandrik. Menurut pelukis Hanafi, Nitiprayan bisa juga dirancang seperti kampung seniman di Barcelona. Spanyol yang baru saja ia kunjungi. Di kawasan Mares-del-sur Roger de Urla, para seniman mancanegara tinggal dalam suatu kompleks yang tertata rapih. Mereka bekerja dalam studio-studio besar tapi bisa memamerkan karya di galeri-galeri kecil dalam kampung. Dan yang menarik, untuk menghidupi kampung tersebut, para seniman bisa mengambil penghasilan dari uang parkir para turis. Bedanya dengan Nitiprayan, di kampung ini belum ada kafe atau restoran, juga tidak ada tempat penginapan serta fasilitas telekomunikasi yang memadai. Dan yang lebih penting lagi ialah mempertimbangkan kesiapan mental penduduk setempatnya. Hedi haryanto, seorang pematung yang tinggal di kawasan tersebut agak keberatan jika proses wisata ini dilakukan secara instan, “Kalau prosesnya evolutif, mungkin bisa. Tapi kalau terlalu cepat, nanti penduduk bisa begitu saja jual tanah, jual rumah. Dan akhirnya mereka hanya menjadi penonton.Penduduk harus dididik dulu untuk menjadi tuan di kampungnya sendiri, misalnya diberikan pelatihan kerajinan, makanan, atau kiat-kiat menjadi pengusaha losmen, dan ada baiknya juga”, ujar Hedi. Mungkin membiarkan sebuah kawasan berkembang sesuai kapasitas penduduknya adalah sikap paling bijak. Sehingga Mooi Nitiprayan tetap Mooi…dalam arti yang sesungguhnya.
Leave a Reply