2001_April_Edisi 123_Peduli:
menunggu buku murah
Joni Faizal
Cerita tentang pengalaman mencari buku, bukan hanya milik Chairil Anwar, si “binatang jalang” yang hidup di jaman krisis di masa revolusi. Di jaman informasi serba mudah seperti sekarang pun masih banyak aksi semacam itu. Bagi beberapa kalangan mahasiswa saja (tentu yang gemar membaca), rasanya belum afdol jika belum mencuri buku.
Curi mencuri buku di perpustakaan bisa saja jadi salah satu cermin tentang betapa sulitnya masyarakat membeli buku. Harga buku yang relatif tinggi dari jangakuan masyarakat, merupakan masalah klasik yang sampai detik ini belum terpecahkan dari dunia perbukuan kita. Buntutnya, minat baca masyarakat yang memang sudah rendah harus berhadapan dengan kenyataan harga buku yang mahal. Kalau demikian kapan masyarakat kita akan cerdas?
Jika kita menyaksikan toko buku, berapa banyak orang yang diam-diam merobek plastik pengaman hanya sekedar untuk membaca meskipun terdapat tulisan ancaman “merobek berarti membeli”. Artinya ada banyak orang yang ngebet membaca tetapi tak mampu membeli. Dan toko buku menjadi semacam perpustakaan alternatif yang banyak dikunjungi oleh mereka yang tak mampu membeli tapi ingin membaca. Di sini mereka belajar dengan cara yang unik, karena sewaktu-waktu Satpam akan datang menegur. Tidak jarang pula ada yang diam-diam menyontek isi buku yang dianggapnya penting.
“Habis bukunya mahal, sih!” ujar Siswanto, mahasiswa jurusan Informatika dari STIK Guna Darma yang ditemui [aikon!] setelah mengintainya lebih dari setengah jam membaca buku yang sama di toko buku Gramedia Matraman Jakarta.
Lain lagi dengan Nina, plajar SMU di Jakarta Selatan, yang sedang duduk bersila di depan pajangan buku fiksi di toko Buku Gramedia Melawai. Nina mengisahkan, bahwa hampir setiap pulang sekolah ia ke toko buku Gramedia Melawai untuk menamatkan bacaan bukunya. “Lumayan, tiap hari dapat satu bab, dari pada beli,” kata Nina yang diuntungkan oleh jarak sekolahnya yang dekat dengan toko buku.
Data yang diperoleh [aikon!] di toko buku di beberapa toko buku Jakarta, menunjukkan bahwa dalam tiap bulannya tidak sedikit buku yang dijual hilang dan rusak akibat terlalu sering dipegang dan dibaca pengunjung toko buku. “Dalam setiap bulan lebih 1000 judul buku senilai Rp. 45.000.000,- yang hilang,” kata Medi Pramono, seorang staf administrasi di sebuah toko buku di Jakarta. “dari huku-buku itu kebanyakan yang hilang adalah buku-buku manajemaen, impor dan buku-buku psikolog,” kata Medi.
Hal yang sama juga terjadi di sebuah toko buku Pondok Indah Mall. Menurut salah seorang staf dari bagian pembelian yang tidak ingin disebutkan namanya, toko bukunya dalam setiap tahun kehilangan buku senilai Rp. 24.000.000,-
Mahalnya harga buku, memang seperti lingkaran setan yang kait mengait, dan tidak pernah jelas bagaimana bentuk penyelesaiannya. Penerbit menuding harga kertas yang mahal, sementara produsen kertas ngotot memang harga sesuai dengan pasaran. Disi lain banyak penulis buku yang tidak mau menulis lantaran honor royaltinya sedikit,belum lagi dibebani pajak penghasilan yang mencapai 10 persen. Di pihak lain, royalti yang sedikit, menurut penerbit diakibatkan buku-buku yang beredar banyak dibajak. Begitulah duri perbukuan Indonesia yang selalu berada di tempat yang gelap dari tahun ke tahun.’
Jalan penyelesaian itu bukan tidak ada. Ikatan penerbit Indonesia (Ikapi) beberapa kali mengusulkan kepada pemerintah agar membbebaskan pajak kertas untuk buku. “Kalau kertas koran dulu pernah dibebaskan dari pajak, kalau buku belum pernah,” kata Setia Darma. Ketua II Ikatan Penerbit Indonesia saat ditemui [aikon!] di ruang kerjanya di Perguruan Cikini Jakarta.
Demikian juga halnya dengan pajak penerbitan . Pemerintah tidak benar-benar serius dan hanya mengobral janji untuk menghapuskan pajak penerbitan untuk buku. Padahal, sejak masa pemerintahan Preseiden Habibie usaha ini telah dilakukan, namun sampai sekarang kenyataannya tak jua terbit. “Yang bebas pajak hingga saat ini baru sampai pada distributor, pajak penjualan” tandas Setia Darma.
Usaha untuk mengatasi masalah mahalnya harga buku dan perbukuan nasional memang menempuh jalan terjal. Apalagi di jaman sulit seperti sekarang. Belum lagi gonjang-ganjing politik yang menyita perhatian hampir semua penentu kebijakan. Lagi-lagi masyarakat yang menjadi korban. “Kita sebenarnya bukan tidak ada usaha. Sewaktu masa pemerintahan presiden Habibie kita telah membentuk Dewan Buku Nasional untuk masalah ini. Tapi ketika presiden ganti, kebijakan ini kemudian mentah lagi. Demikian jugan dengan janji penghapusan pajak buku, sampai sekarang janji tersebut tak kunjung tiba,” ujar Setia Darma dalam nada pesimis.
Entah sampai kapan buku akan dapat dijangkau oleh msyarakat. Paling tidak, sebagai negara berkembang Indonesia harus mengejar ketinggalan , 55 judul buku setiap tahun untuk sejuta penduduk sebagaimana yang ditargetkan oleh Unesco. Bukan seperti saat ini, baru 12 judul dan bahkan cenderung berkurang dalam setiap tahunnya. Jika demikian, bukan tidak mungkin wacana primitiflah yang paling berlaku untuk menyelesaikan benang kusut bangsa ini di kemudian hari. Bukan tindakan-tindakan yang cerdas, yang pernah menjadi dongengan di jaman-jaman kerajaan masih menjadi pusat-pusat pendidikan semasa Nusantara jaya.
Leave a Reply