Sore itu banyak orang yang berkunjung ke Pameran 25 Tahun #Reformasih: in Absentia di Galeri MataWaktu, Jakarta Selatan. Umumnya terlihat gembira dan bersahabat.
Setelah mendengar empat narasumber yang menceritakan keberadaan masing-masing saat kejadian Tragedi 1998, orang-orang itu berpencar, membentuk kelompok-kelompok kecil, tanpa diatur, melanjutkan obrolan. Kelompok-kelompok itu cair kadang membesar, mengecil, pesertanya berpindah dari satu ke yang lain. Semua tampak gembira dan bersemangat.
Ada jurnalis, seniman, dosen, Dirjenbud, fotografer, ketua Komnas Perempuan, aktivis, ibu rumah tangga, anggota Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, penyanyi, dan warga kota tanpa predikat. Mereka mengobrol ke sana ke mari. Umumnya ringan, atau ‘diringankan’, ketika berbagai ‘masalah berat’ di negara ini dibahas secara spesifik. Satu dan yang lain memberi apresiasi atas kerja masing-masing dan sadar posisi. Wajah-wajah (yang mungkin) penuh harap untuk berkolaborasi sambil (mungkin) merunut ‘job-desc’ dan mata anggaran di kepala masing-masing. Hubungan informal nampaknya sedang bekerja, siapa tahu menghasilkan kebaikan bagi negara. Obrolan dalam lingkungan tanpa hirarki itu menyenangkan dan memberi banyak harapan.
Beberapa waktu kemudian, Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, mulai bersuara, menyanyikan lagu yang dibikinnya, Terlepas.
Leave a Reply