1997_awal Juli_Edisi 072_bahas:
Kopi
“Secangkir kopi telah menjadikan saya merasa dapat melakukan apa pun!” Begitu selalu ungkapan Too Much Coffe Man, tokoh pahlawan dalam komik keluaran Adhesive Comics di Austis, Texas. Dan harus diakui, banyak di antara kita yang juga merasa seperti itu. Merasa segar dan siap melaksanakan tugas setelah mereguk secangkir kopi. Karena itu, tidak mengherankan bila kemudian muncul istilah “caffeine time” atau “rehat kopi” untuk menyela sebuah kesibukan.
Untuk menikmati secangkir kopi, mungkin kita hanya memerlukan waktu 15 menit saja. Tapi, untuk dapat menghasilkan biji kopi, sebatang pohon kopi memerlukan waktu tujuh tahun untuk siap berkembang dan berbuah. Perjalanan kopi hingga sampai ke cangkir memang panjang. Kisahnya tidak sebatas pada menjamurnya kedai kopi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, tapi juga berjamur peluh para apetani tanam paksa di masa silam.
Mengenal kopi adalah mengenal komoditi yang melahirkan gaya hidup banyak bangsa di dunia. Ada banyak cerita di balik bangsa di dunia. Ada banyak cerita di balik wujudnya yang sederhana.
Ketika Kopi Wajib Ditanam: Sebuah Kilasan Sejarah
Dengan garang Multitauli tampil ke depan gelanggang membela pribumi Indonesia, de javan “Kerja, kerja ! beras harus ada buat pelawan lapar….kopi harus ada buat lapar yang lain lagi, yang bernama perdagangan, di Eropa!” (Max Havelaar)
Kilas balik penanaman kopi di Indonesia merupakan kilasan sejarah yang suram. Saat jutaan petani Indonesia mati hanya karena harus meladeni kepentingan dagang Belanda di Benua Eropa. Tidak tanggung-tanggung, untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, kolonialisme Belanda telah menerapkan sistem tanam paksa, sebuah reng sejarah tidak dapat dilupakan.
Bermula Dari Gaya Hidup Ketertarikan Belanda terhadap komoditi kopi dimulai tahun 1696. Saat itu, seorang Belanda bernama Admiral Pieter Van de Broeke sedang mengadakan perdagangan dengan Arab. Ia tertarik pada suguhan kopi, yang di Arab disebut Qahwah atau air hitam. Broecke langsung saja mencari pohonnya dan dikembangkan untuk selanjutnya ditanam ke negeri India.
Jauh sebelum tahun 1696, masyarakat Eropa memang sudah keranjingan minuman beraroma sedap ini. Pada tahun 1645, untuk pertama kalinya dibuka rumah kopi di Italia. Menyusul “London Coffe House” yang merupakan rumah kopi pertama di Inggris pada tahun 1652. Bahkan rumah kopi ini telah membuat iklan Java Jive yang berbunyi, “minuman sehat yang diimpor dari Timur…Membuat kondisi tubuh segar dalam berbisnis”.
Munculnya kedai kopi lengkap dengan iklan-iklannya, menunjukkan ramainya pasaran komoditi kopi di Eropa. Dan mulailah lahir kafe-kafe (berasal dari kata caffeine), yang tidak hanya sekedar menyuguhkan kopi tapi juga menajdi arena diskusi dan ngobrol yang banyak diminati.
Mulai Ditanam di Jakarta
Gaya hidup masyarakat Eropa ini secara tidak langsung telah mendukung ekspansi negara-negara colonial di tanah jajahannya, tak terkecuali pemerintah Hindia Belanda. Tanah negeri jajahan Indonesia merupakan lahn produksi perolehan tenaga kerja yang sangat murah. Maka, tiga tahun setelah Broecke berhasil mengambil pohon kopi dari pedagang Arab, seorang Belanda bernama Zwaardkroon pada tahun 1699 membawa bibit dari perkebunan kopi di pantai Malabar, India ke perkebunan Kedawung di daerah Jakarta.
Penanaman pertama kopi ini hancur akibat gempa bumi yang melanda Jakarta, namun, setelah dilakukan beberapa kali uji coba, ternyata bibit kopi bisa tumbuh dengan baik. Bibit kopi yang ditanam adalah kopi Arabica dan menghasilkan pohon-pohon yang menjadi induk semua tanaman kopi di Indonesia di kepulauan Indonesia selama 200 tahun.
Prijangan, era Keemasan VOC
Adalah VOC (Unites East Company) yang memiliki peranan besar dalam penanaman kopi di Indonesia. Organisasi dagang Belanda ini mula-mula membeli kopi dari pelabuhan Mocha (Mocha Coffe) dan menjual di Amsterdam dengan harga tinggi. Meningkatnya persaingan antar maskapai Eropa menyebabkan harga kopi terus naik dan ini sangat menyulitkan VOC. Oleh karena itu, Dewa Tujuh Belas Negeri Belanda memerintahkan VOC untuk melakukan penanaman kopi di tanah jajahan.
Pada tahun 1707, VOC telah menetapkan daerah Priyangan, Jawa Barat sebagai daerah uji coba penanaman kopi, Bibit-bibit kopi dibagikan kepada para bupati di daerah Priyangan. Pada tahun 1711, bupati Cianjur, Aria Wiratanu, adalah bupati pertama yang menyerahkan hasil panen kopi Jawa kepada VOC. Hasilnya sangat memuaskan, di tahun 1712, untuk pertama kalinya kopi hasil perkebunan di Indonesia diekspor ke Belanda dan dijual ke pelelangan kopi di Amsterdam sebanyak 894 pon.
Prijanganstesel
Sejak tahun 1725, kopi telah menjadi komoditi terpenting, lebih dari 1200 ton kopi Priyangan Jawa Barat dijual di Amsterdam. Namun, dibalik keberhasilan itu ada ribuan petani Indonesia yang harus menjadi tumbalnya.
Di daerah Priyangan, para petani menjadi pekerja wajib yang harus membuka hutan untuk perkebunan kopi. Pelaksanannya diserahkan oleh bupati pribumi dan diawasi oleh beberapa orang pengawas Belanda. Sistem yang diterapkan VOC adalah mewajibkan penduduk untuk kerja rodi membuka lahan perkebunan, menggarap lahan, menanam benih, memelihara, memanen sampai mengangkut produksi dari kebun ke tempat penimbunan kopi. Kopi itu harus diserahkan kepada bupati untuk kemudian diteruskan ke VOC sebagai bentuk penyerahan wajib. Sistem ini dikenal sebagai Prijanganstelsel.
Sampai akhir abad 18, Priyangan menjadi penghasil ekspor kopi terpenting melebihi Ceylon dan Ambon…Produksi kopi Jawa telah membawa keuntungan besar bagi pemerintah Hindia Belanda, ekspornya telah mengungguli ekspor kopi dari Yaman.
VOC kandas, muncul culturstelsel
Di tahun 1780, monopoli VOC dicabut sehingga kopi rakyat mulai berkembang. Masa ini adalah masa sulit bagi pemerintah Hindia Belanda yang harus memerangi pemberontakan Diponegoro. Namun, tahun 1830 kondisinya berubah ketika perlawanan Diponegoro berhasil dipatahkan, kemenangan Belanda harus dibayar dengan kas pemerintahan penjajah yang ludes. Keuangan harus dibenahi, salah satunya melalui penerapan sistem kulturstelsel yang dimulai di Jawa.
Di bawah Gubernur Jenderal Van Den Bosh, seluruh penduduk desa harus menanam kopi di tanahnya sendiri, hasilnya diserahkan sebagai pajak (kerjanya sendiri tidak diupah). Inilah praktek culturstelsel yang dijalankan selama kurang lebih 40 tahun.
Dengan sistem ini, produksi kopi meningkat. Di tahun 1840, untuk pertama kalinya Jawa menghasilkan lebih dari 1 juta karung kopi. Tidak heran jika menteri Baud menamakan Jawa gabus tempat Nederland mengapung. Para pribumi pejabat pemerintah jajahan sangat berperan dalam peningkatan produksi ini. Jika mereka bisa menekan para petani di daerahnya untuk menghasilkan produksi yang maksimal, maka kenaikan pangkat pun menjadi imbalannya. Ini tentunya menggiurkan para kaum pejabat pribumi atu priyayi yang haus kekuasaan.
Para pejabat boleh bersenang dengan jabatan yang terus meningkat, namun keuntungan terbesar tentunya mengalir deras ke Nederland, hingga tahun 1877 keuntungan dari praktek tanam paksa ini telah mencapai 800 juta gulden. Laba berkali lipat lagi ketika untuk pertama kalinya di tahun 1870, perkebunan kopi “Sumber Agung” menanam bibit kopi robusta yang diimpor dari daerah Kongo, Afrika. Tanaman ini dsebut robusta karena mempunyai bentuk yang robust (kekar tegap), juga tahan terhadap berbagai penyakit kopi yang kerap menyerang kopi arabika. Harga kopi ini lebih rendah dari kopi Arabica, namun permintaanya sangat besar.
Puncak produksi kopi berkisar antara tahun 1880-1884, dnegan penghasilan 94.000 ton/tahun. Pada saat itu, arabika menjadi kopi paling berkualitas. Sehabis tahun 1885, dengan mewabahnya hama jamur hemileia vastratix B dan Br, serta teknik pengolahan yang tidak tepat, terjadi penurunan hasil kopi sebanyak 60% selama 24 tahun!.
Pertengahan abad 19, sistem kulturstesel dikendurkan, lalu disahkan perjanjian agrarian yang memungkinkan penyewaan tanah yang tidak diolah pada jangka panjang. Ini membuka peluang bagi investor Eropa dan meningkatkan produksi perkebunan kopi di Jawa Timur.
Runtuhnya Kopi Penjajah
Industri kopi dihancurkan oleh Perang Dunia II dan diperburuk oleh adanya perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang telah membongkar kebun kopi untuk tanaman pangan. Tahun 1940,terjadi pemerosotan harga kopi dan pengurangan lahan perkebunan hingga menjadi 96.100 Ha, yang diusahakan oleh 369 perkebunan di Jawa.
Perkembangan kopi selanjutnya ditandai oleh semakin luasnya penanaman kopi rakyat. Tahun 1955 tercatat tanaman kopi rakyat sebesar 148.000 Ha dengan produksi sebesar 47.300 ton dan kopi perkebunan seluas 47.100 Ha dengan produksi sebanyak 15.200 ton. Penghasil kopi terbesar adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Timor Timur.
Leave a Reply