Kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dekat dengan apa yang disebut Kitsch. Istilah ini mengacu pada berbagai hal yang terkait dengan Budaya Populer, atau Budaya Massa dalam wujud benda atau pemikiran, yang dianggap murahan, massal, tidak berguna dan berada dekat dengan sebuah kelompok masyarakat. Kitsch merupakan hasil dari Industri Budaya Populer. Produk-produk ini diproduksi tanpa memperhatikan makna – bahkan tanpa makna – demi memenuhi kebutuhan estetika, yang tanpa mereka disadari sesungguhnya tidak mereka butuhkan. Kitsch, yang dekat dengan mayoritas masyarakat Indonesia itu, merupakan hasil, dampak, sekaligus katalisator Industri Budaya Populer. Masyarakat Indonesia mengonsumsi dan menikmatinya. Kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi ini terjadi karena ditanamkan dan didorong oleh pemerintah Indonesia sejak zaman Orde Baru. Tulisan ini merupakan kajian awal mengenai kemungkinan pendekatan kitsch digunakan sebagai alat pendorong perubahan di negara ini. Menjadi Indonesia. Indonesia yang merdeka, damai, dan berkeadilan sosial.[1]
Pengkajian dimulai dengan dengan menjabarkan definisi dari masing-masing terminologi yang terkait dengan kitsch, membahas kitsch secara spesifik, mengulas tentang kehadiran ideologi dan mitos yang mempengaruhi keberadaan kitsch. Pada bagian terakhir tulisan ini akan berisi kajian awal tentang produk Industri Budaya Populer berupa mainan yang dinamakan Kitsch Kebangsaan.
Budaya Populer
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kebudayaan adalah kata benda yang merujuk pada “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia (seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat)” (Kamus Bahasa Indonesia, 2008). Budaya berasal dari kata Bahasa Sanskerta Buddhayah atau Buddhi yang berarti akal. Dalam bahasa Inggris, budaya diterjemahkan menjadi culture, yang diketahui dari bahasa Latin colere, yang berarti mengolah atau mengerjakan (Eagleton, 2000: 8). Menurut Koentjaraningrat, Kebudayaan adalah “Keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil dari budi dan karyanya itu” (Koentjaraningrat, 1987:9). Menurut Koentjaraningrat pula, Kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu: 1. Berupa ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya, 2. Berupa aktivitas manusia yang berpola, dan 3. Berupa benda-benda hasil karya manusia. Di samping itu, kata populer menurut kamus memiliki tiga pengertian, 1. dikenal dan disukai orang banyak, 2. sesuai dng kebutuhan masyarakat pada umumnya – mudah dipahami orang banyak, dan 3. disukai dan dikagumi orang banyak (Kamus Bahasa Indonesia, 2008).
Budaya Populer menurut Ariel Heryanto memiliki dua pengertian yang bertolak belakang, namun dapat pula menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan (Heryanto, 2015:22). Pada pengertian pertama, Budaya Populer adalah “Proses memasok komoditas satu arah dari atas ke bawah untuk masyarakat sebagai konsumen”. Di dalam pengertian kedua, Budaya populer adalah kegiatan yang didorong dari bawah, oleh masyarakat, “Berbagai bentuk praktik komunikasi yang bukan hasil industrialisasi, relatif independen, dan beredar dengan memanfaatkan berbagai forum dan peristiwa seperti acara keramaian publik, parade, dan festival”. Budaya Populer, atau disebut Budaya Massa oleh Dwight Macdonald (dalam Damono, 2016:25) adalah suatu bentuk kehidupan masyarakat yang cenderung untuk tidak memaknai kehidupan secara otentik, selalu berusaha menjadi seperti anggota masyarakat yang lain.
Srinati (dalam Heryanto 2015:24) menyatakan bahwa “konsumsi budaya populer oleh masyarakat secara umum selalu menjadi persoalan bagi ‘orang-orang lain’ seperti kaum intelektual, pemimpin politik, atau para pembaharu moral dan sosial. ‘Orang-orang lain’ ini berpandangan bahwa seharusnya masyarakat memperhatikan saja hal-hal yang lebih mencerahkan dan lebih berfaedah ketimbang budaya populer”. Hal ini ditulis pula dalam Damono (2016) yang menyatakan bahwa hasil akademis adalah percepatan produksi kitsch oleh Industri Budaya Populer.
Industri Budaya Populer
Sejak Revolusi Industri telah terjadi perpindahan manusia dari desa ke pusat-pusat produksi. Mereka berpindah, mendekat ke tempat-tempat produksi karena beranggapan kehidupan yang lebih baik akan dapat diperoleh di sana. Kehidupan yang lebih baik yang mereka kejar menimbulkan perubahan dalam cara mereka hidup pula. Cara hidup yang cenderung tenang dan bersahaja di desa ditinggalkan, demi merebut berbagai kesempatan dan kemudahan yang ada di kota. Mereka mendambakan sinar lampu yang lebih terang dari kehidupan mereka sebelumnya – dan hal ini hanya tersedia di dekat pusat-pusat produksi – yaitu kota.
Sebagai ilustrasi, manusia kota menerima kedatangan orang desa dengan harapan, bahwa dengan kehadiran orang desa di lingkungannya, manusia kota kemudian dapat melakukan hal-hal yang dianggap lebih produktif atau lebih menyenangkan, seperti berkumpul dengan teman dalam sebuah café yang dingin dan wangi, dengan mengorbankan sedikit dari pendapatan yang mereka peroleh di setiap akhir bulan untuk membayar orang desa yang membantu membersihkan rumah atau mencuci baju-baju kerja mereka. Di sisi lain, setelah bekerja dan memperoleh pendapatan, manusia desa tadi merasa berhak untuk meniru dan mengisi hidupnya dengan hal-hal yang menyenangkan, seperti halnya manusia kota yang mengupahnya. Manusia desa itu kemudian menjadi manusia kota baru. Manusia yang lambat laun menjadi manusia yang terputus dari budaya desanya. Mereka terjebak dalam situasi berebut kesempatan yang membolehkan siapa pun untuk mengubah diri demi menaikkan posisinya dalam kelas masyarakat. Siapa pun dapat meningkatkan penghasilan karena begitu banyak kesempatan yang ditawarkan oleh pusat-pusat produksi yang bermunculan. Manusia kota lama dan manusia kota baru menjadi berbaur, dididik dan dibiasakan oleh suatu ideologi untuk setia dalam sebuah sistem, untuk menjadi ‘sama dengan yang lain’ – karena Industri menuntut keseragaman (Damono, 2016:14). Budaya Populer atau Budaya massal pun kemudian tercipta. Budaya tanpa makna itu berkembang tanpa dapat dibendung.
Budaya Populer ini kemudian memunculkan berbagai industri yang diciptakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dari banyak pelaku budaya populer. Industri adalah soal sistem dalam proses produksi yang terstandarisasi. Munculnya Industri Budaya Populer adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang ingin dapat mengalami dan menikmati ‘kebahagiaan semu’ secara mudah dan instan, seperti yang dialami oleh kelas masyarakat di atasnya dan juga mengembangkan kebudayaan populer baru. Berbagai komoditi yang bersifat mekanis, massal, dan dibutuhkan, atau yang diciptakan untuk dibutuhkan kemudian oleh massa berbudaya populer, itulah hasil Industri Budaya Populer.
Kitsch
Gambar tempel, kaus, restoran, café, bengkel cuci mobil, boneka adalah beberapa contoh dari kitsch. Jones menyatakan, bahwa dalam satu masa yang sama, dalam sebuah kebudayaan akan memproduksi dua jenis karya seni yang berbeda sifat (Jones, 2013). Di satu sisi terdapat karya seni bersifat adiluhung, seperti musik klasik karya Beethoven dan karya Kubisme Picasso, di sisi yang lain terdapat sifat seni yang lebih diminati secara massal, seperti musik pop karya Elvis Presley dan lukisan karya Norman Rockwell. Karya yang disebut belakangan menghasilkan berbagai produk yang disebut kitsch.
Kitsch muncul untuk memenuhi kebutuhan massa yang luas dan banyak, yang cenderung dianggap tidak memiliki pendidikan atau pendapatan yang cukup untuk menikmati produk kebudayaan adiluhung. Produk ini dibuat sedemikian rupa sehingga mudah diterima masyarakat kelas bawah yang umumnya tidak ingin berpikir jauh atau mendalam tentang apa pun. Kitsch diproduksi secara massal dan didorong untuk dikonsumsi sebanyak-banyaknya agar siklus produksi-konsumsi berputar dan menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar dan segera. Kitsch merupakan produk Industri Budaya Populer yang dianggap tidak memiliki kedalaman (makna). Menurut Hanif “Sifat kitsch sendiri menurut Clement Greenberg (1939), Gillo Dorfles (1969), Umberto Eco (1989), Jean Baudrillard (1990), J.H. Cillers (2008), dan Yasraf Amir Piliang (2011), ‘sama-sama ditandai dengan adanya unsur-unsur provokasi, simulasi, repetisi, keganjilan, yang berfungsi untuk meredupkan aura dari seni tinggi atau objek mitos yang diambilnya (demitosisasi) dan mengubahnya menjadi stereotype yang bertujuan untuk menggaet massa secepat dan sebanyak mungkin’”(Hanif, 2015). Menurut Damono (2016:26) “Kitsch mengeduk kekayaan kebudayaan luhur dan tidak memberikan imbalan apa-apa untuk itu”. Lebih lanjut ia menyatakan “Para produsen kitsch mengeksploitasi kebutuhan kebudayaan masyarakat demi keuntungan uang dan kekuasaan kelas.”
Pada kenyataannya, kitsch tidak hanya dinikmati oleh massa di kelas bawah. Sebagian kalangan menengah pun menikmatinya. Hal ini dapat kita baca dari sebuah reportase CNN mengenai Kedai, satu dari banyak café di Kemang, Jakarta, di mana kalangan kreatif kota Jakarta sering berkumpul di sana. Kartika Jahja, Tika, si pemilik Kedai, adalah seorang sarjana seni rupa dari Seatle, Amerika Serikat, penyanyi, dan juga pemerhati masalah lingkungan. Ia memilih untuk menggunakan benda-benda terbengkalai untuk menghias kedainya (Schonhardt, 2009). Tika menyatakan, “Jakarta is like this big playground for me. You see things that are abandoned everywhere, and I wonder why would you waste something like this when you can make it into something even cooler?”.
Kedainya diatur apik dengan ruang-ruang yang nyaman, selayaknya sebuah rumah. Ruang berdinding berwarna pastel, kaca, dan berpendingin udara itu dihias dengan benda-benda yang umumnya telah selesai dalam menjalankan fungsi sebenarnya. Di atas beberapa meja, bakul-bakul nasi zaman dulu, yang terbuat dari besi berwarna jingga itu, digantung tertelungkup; di dalamnya dipasang lampu, dan digunakan untuk menyinari meja. Di bagian lain, sebuah instalasi berupa puluhan sendok disusun selang seling dengan garpu, dibuat dua tingkat mengelilingi sebuah bola lampu, digantung, dijadikan penerangan ruang yang berkilau, artistik.
Kondisi ini sesuai dengan yang ditulis Hanif (2015), “Kitsch, sebagai suatu ungkapan estetika postmodern, memiliki tempat yang sejajar dengan gaya seni apa pun yang berhak muncul sekarang ini dalam wujud karya apa pun, dan dibuat oleh siapa pun.”
Kitsch yang umumnya bernilai negatif, memiliki ‘kemungkinan’ untuk bernilai positif. Damono (2016:28) menulis, ”Kebudayaan Massa merupakan kekuatan yang dinamis dan revolusioner, yang telah meruntuhkan batas-batas kelas, tradisi, dan cita rasa; dan ia pun telah melarutkan semua perbedayaan budaya.” hal ini memang buruk, bila dilihat dari perspektif runtuhnya tradisi dan cita rasa, serta daya yang dimiliki suatu kebudayaan. Namun kitsch memiliki “kekuatan yang dinamis dan revolusioner” yang dapat meruntuhkan batas-batas kelas. Hal ini dapat dilihat sebagai hal positif, bila digunakan secara tepat. Hal ini pula yang disampaikan oleh Greenberg (1965), bahwa tidak semua Kitsch adalah buruk (Greenberg, 1965) dan oleh Nerdrum (dalam Bethea, 2012) yang menyatakan bahwa kitsch adalah “… a ‘form of caring.’ It helps us endure the ‘terror of existence’ by allowing us to confront it, and therefore understand and, ultimately, transcend it. High kitsch makes explicit the terror that low kitsch covers up” (Bethea, 2012).
Ideologi dalam Budaya Populer
Macdonald (dalam Damono, 2016:24) beranggapan, “meluasnya kitsch disebabkan oleh suasana lingkungan yang diciptakan pemerintah.” Di dalam perjalanan sejarah Indonesia, hal ini dapat dilihat dari bagaimana Presiden Soeharto membangun Indonesia dan mengubahnya dari negara agraris menjadi industrialis dalam 32 tahun. Kepemerintahan Soeharto menanamkan ideologi Pembangunanisme (Developmentalism) dan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Mas’oed dalam Setiawan, 2007). Pembangunan dilakukan secara masif, cenderung mengecilkan makna kehidupan. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan oleh sebuah kementerian di dalam periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, tiga kepemerintahan setelah Soeharto lengser, “Pada tahun 1970 sektor pertanian berkontribusi sebesar 32,5% terhadap perekonomian Indonesia, namun kontribusinya terhadap perekonomian nasional terus mengalami penurunan hingga hanya 11,3% pada tahun 2012. Berbanding terbalik dengan sektor pertanian, sektor industri mengalami perkembangan yang pesat pada kurun waktu 1970-2012. Pada tahun 1970, peran sektor perindustrian relatif kecil yaitu sekitar 6,6%. Seiring berjalannya waktu, sektor industri menjadi salah satu sektor yang menopang perekonomian Indonesia. Sektor industri terus berkembang hingga mampu berkontribusi sebesar 27,4% pada tahun 2005” (Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014).
Perpindahan manusia desa ke pusat-pusat produksi tidak dapat dielakkan. Mereka meninggalkan sejarah dan kebudayaan yang dimiliki selama ini, menuju modernisasi yang menurut Nordholt (dalam Heryanto, 2011:435), “modernitas berarti gaya hidup yang menggairahkan. Gairah ini terpisah dari sekaligus lebih kuat ketimbang minat terhadap gerakan kebangsaan.” Budaya Populer pun kemudian tercipta sesuai ideologi yang ditanamkan. Persoalan ideologi dapat ditemui di dalam tulisan-tulisan Louis Althusser, yang satu di antaranya dikutip oleh Sutrisno (dalam Tjahjawulan, 2011:5), “Ideologi dapat diterima melalui kondisi yang diciptakan. Di dalam era poskolonial hegemoni negara kapitalis modern dapat dilakukan lewat aparatur negara: 1. Aparat negara represif, seperti militer dan polisi; dan 2. Aparat negara ideologis, seperti sekolah, media, agama, dan sistem politik.”
Temuan Awal: Kitsch Kebangsaan?
Temuan dalam kajian awal tentang pendekatan kitsch sebagai alat perubahan ini berbentuk mainan. Mainan merupakan produk Industri Budaya Populer yang memiliki kekuatan yang dinamis dan revolusioner. Kitsch berupa mainan dapat mengintervensi Industri Budaya Populer untuk mengarah kepada perbaikan kondisi bangsa.
Temuan ini didukung oleh tulisan tentang produsen mainan Prancis yang usahanya terselamatkan karena memadukan tradisi dan inovasi. Jura, suatu daerah di perbatasan Prancis dengan Swiss merupakan sentra produksi mainan tradisional Prancis seperti boling, mainan tunggang, mainan beroda, permainan ketangkasan, permainan croquet (sejenis golf). Para produsen mainan ini mengalami peningkatan nilai produksi dan tentunya penjualan, ketika mereka mulai memperhatikan aspek inovasi produksi dan kembali memproduksi mainan dengan narasi tradisi. “Ketertarikan terhadap mainan tradisional diuntungkan oleh tren yang menguat. Mainan klasik muncul lagi. Tidak terhitung banyaknya situs-situs Internet yang menawarkan mainan zaman dahulu. Mereka yang sentimentil berebut boneka Bella, atau baigneur Petitcollin, perisai, pedang dan kuda kayu dari Vilac, “crane” dari Clergé, mainan bebek dan anjing dari kayu yang ditarik dengan tali dari Educalux, serdadu timah dari Starlux, kuda goyang Clairbois, dan kereta api elektrik, perahu dari logam, tidak lupa tentunya boneka beruang. Para orang tua mencoba memikat anak-anak sambil menemukan kembali masa kanak-kanak mereka dan meneruskan tradisi.” (Thomas, 2012).
Contoh kasus lain yang dapat mendukung argumentasi tentang kemungkinan sebuah mainan kitsch dapat menjadi alat perubahan, adalah kasus produk Hot Wheels berupa mainan kapal selam berwarna kuning yang diproduksi untuk menyambut perayaan 50 tahun lagu Yellow Submarine yang diciptakan oleh grup legendaris dunia The Beatles.[2] Belajar dari kesuksesan masa lampau, produsen mainan itu berkeyakinan tinggi sehingga sampai memproduksi mainan khusus untuk momen tersebut demi memperoleh keuntungan dari cerita sukses dari masa lalu. Representasi baru berupa mainan kapal selam, kitsch, itu diproduksi, dengan harapan mitos yang melegenda dapat terus memutar siklus produksi dan konsumsi – dengan harapan akhirnya adalah menghasilkan keuntungan finansial yang besar. Barthes (dalam buku Budiman, 2004: 66) menyatakan di satu tulisannya, “Setiap tipe tuturan, entah berupa sesuatu yang tertulis atau sekedar representasi, verbal atau visual, ia berpotensi untuk menjadi Mitos.” Mitos yang telah lama berada di Budaya Populer, ditambah dengan kehadiran selera yang sesuai, berkesempatan menyakinkan konsumen untuk mengonsumsi komoditi yang ditawarkan. Dengan formula ini, Hot Wheels memproduksi komoditi berupa mainan kapal selam kuning yang menggemaskan.
Untuk menggambarkan temuan di atas, kita dapat mulai dengan mengolah sebuah Kanon Sastra Kebangsaan – istilah yang diusulkan oleh Ayu Utami. “Kanon Sastra Kebangsaan adalah rangkaian karya yang bicara mengenai tema kebangsaan dan kemanusiaan dalam sejarah Indonesia” (Utami, 2015).[3] Satu dari banyak “dokumentasi sastrawi tentang menjadi Indonesia yang dianggap berharga untuk dipelajari” dan dapat dijadikan bahan contoh dalam tulisan ini adalah Burung-burung Cakrawala karya Mochtar Pabotinggi. Karya sastra itu bercerita tentang seorang anak yang Bulukumba, Sulawesi, yang berkelana ke Makasar, Yogyakarta, Jakarta, kemudian Honolulu, Buffalo, Amherst, dan Massachusetts, Amerika Serikat untuk menjadi seorang peneliti yang berintegritas. Kanon Sastra ini kemudian diolah dalam proses alih wahana menjadi kitsch.
Mainan yang terbayang akan muncul adalah sebuah botol susu[4] yang meloncat-loncat ke udara, menggambarkan berbagai cakrawala yang ditemui Pabotinggi saat berkelana. Mainan itu dirancang dengan sangat baik untuk mewujud menjadi mainan mekanis berwarna cerah. Hal penting karena seperti yang disampaikan Hanif, ‘Selera konsumer Indonesia yang kitsch, adalah kesenangan mereka terhadap segala sesuatu yang mampu menarik perhatian mereka seketika, misalnya pakaian dengan corak dan warna yang mencolok, make up yang tebal, asesoris dan perhiasan yang murah namun terlihat mewah, ekspresi wajah yang berlebihan dan bahasa tubuh yang sensual atau menggoda’ (Hanif, 2015). Rancangan ini kemudian diproduksi secara massal dalam bentuk mainan plastik bernarasi sederhana yang menggemaskan, dan dipasarkan ke tengah publik dengan harga sangat murah – di antara kitsch yang sudah ada. Cerita hidup Mochtar Pabotinggi yang membagi semangat kebangsaan dialih-wahanakan menjadi Kitsch Kebangsaan – mainan ‘sejuta umat’.
Mainan ini tidak akan menjadi komoditi yang bersifat eksploitatif pada kebudayaan bangsa, namun justru akan membuka wawasan kebangsaan, mengingat perwujudan kitsch Kebangsaan ini dihasilkan dari sebuah karya sastra Indonesia adiluhung yang telah melalui melalui proses alih wahana yang tepat – tidak seperti kitsch pada umumnya yang mengecilkan nilai-nilai budaya dan menanggalkan makna. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis Damono , “Ada perbedaan antara mengeksploitasi atau memanfaatkan cita rasa populer dan memuaskan cita rasa tersebut” (Damono, 2016:26).
Penutup
Kitsch adalah satu dari banyak produk Industri Budaya Populer. Satu jenis kitsch yang dekat dengan kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia adalah mainan. Bila mainan itu berangkat dari sebuah Kanon Sastra Kebangsaan yang dirancang dengan sangat baik, maka ia dapat menjadi sebagai alat perubahan. Mainan itu akan digemari, diproduksi massal, dan tersedia di pelosok negeri untuk menyampaikan pesan kebangsaan. Kitsch Kebangsaan ini masih perlu dikaji lebih mendalam agar benar-benar dapat menjadi alat pendorong perubahan untuk Menjadi Indonesia – Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Daftar Pustaka
Buku
Damono, Sapardi Djoko. 2016-a. Kebudayaan (populer) di Sekitar Kita. Editum, Jakarta.
—. 2016-b. Alih Wahana. Editum, Jakarta.
Eagleton, Terry. 2000. The Idea of Culture. Blackwell Publishing, Victoria, Australia.
Greenberg, Clement. 1965. Art and Culture Critical Essays: Avant Garde and Kitsch. Beacon Press, Boston.
Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Horkheimer, Max dan Adorno, Theodor W. 2002. Dialectic of Enlightment: Philosophical Fragments. Standford University Press, Standford, California.
Koentjaraningrat. 1987. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Pabotinggi, Mochtar. 2013. Burung-burung Cakrawala. Gramedia Pustaka Utama, PT, Jakarta.
Ricklefs, M.C.. A History of Modern Indonesia: c. 1300 to the Present. The Macmillan Press Ltd., London.
Srinati, Dominic. 2004. An Introduction to Theories of Popular Culture. Routledge, New York.
Tim Redaksi. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Tim Studi. 2014. Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Jakarta.
Jurnal
Bethea, Sarah. 2012. Odd Nerdrum, Kitsch & Modernity. University of North Carolina.
Hanif, Wildan dan Piliang, Yasraf Amir. 2015. Kitsch dalam Iklan TV Komersial dan Selera Konsumer Indonesia. Fakultas Seni Rupa & Desain, Institut Teknologi Bandung.
Tjahjawulan, Indah. 2011. Representasi Indonesia melalui Anjungan Indonesia di World Expo pada Masa Kolonial dan Setelah Kemerdekaan. Urbanitas: Jurnal Seni Urban. Vol 1 no.1.
Situs Internet
Akhwan, Eki Qushay. 26 Maret 2011. Apa itu Kitsch. Diunduh dari https://goo.gl/BFe5CO pada 10 Januari 2017.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (tanpa tanggal). Sastra Kitsch. Diunduh dari https://goo.gl/4lIwfG pada 10 Januari 2017.
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Diunduh dari https://goo.gl/3TsoG1 pada 10 Januari 2017.
Marx, Karl. 1835. Young Marx: Writings from Karl Marx before Rheinsche Zeitung. Diunduh dari https://goo.gl/e0MSRq pada 10 Januari 2017.
Schonhardt, Sara. 9 Desember 2009. Jakarta’s eco-coffee shop: Coffee with a kitsch kick. CNN Travel, Cable News Network. Diunduh dari https://goo.gl/NeLhPp pada 22 Januari 2017, 13:15.
Setiawan, Asep. 6 Januari 2007. Basis Ideologi Orde Baru. Analisa Hubungan Internasional. Diunduh dari https://globalisasi.wordpress.com/2007/01/06/basis-ideologi-orde-baru/ pada 25 januari 2017, 18:33.
Thomas, Sylvie. 20 Desember 2012. Industri Mainan Prancis Mengandalkan Tradisi. Federation Francaise des Insdustries. Diunduh dari https://goo.gl/cqhYUl pada 20 Januari 2017.
Utami, Ayu. 16 Agustus 2015. Kanon Sastra Kebangsaan. Deutsche Welle. Diunduh dari http://dw.com/p/19QJY pada 20 Januari 2017.
[1] Cita-cita negara ini seperti yang tercantum di dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
[2] The Beatles merupakan kelompok musik legendaris yang berjaya di 1960an. Lagu-lagunya digemari dan dicintai oleh banyak orang di seluruh dunia – sampai kini. Di 1968 The Beatles meluncurkan lagu berjudul Yellow Submarine melalui sebuah film animasi dengan judul yang sama. Lagu dan film itu ‘meledak’, sangat disukai oleh sangat banyak penggemar, dan menghasilkan keuntungan finansial yang sangat besar bagi para produsen.
[3] Dalam tulisan pula, Utami menuliskan tentang sastra terapan, sastra yang dapat digunakan sebagai wahana pendidikan. Jenis sastra yang tidak hanya memiliki nilai estetika tinggi, namun juga dapat mendekatkan sastra pada publik dengan lebih efektif, khususnya pada anak didik di sekolah – daripada meminta para murid untuk membaca sastra adiluhung yang dianggap ‘berat’.
[4] Di dalam cerita Burung-burung Cakrawala, botol berisi susu untuk anak bungsu Pabotinggi, berjasa ‘menyelematkan’ istrinya yang hampir pingsan karena kelaparan saat terbang 30 jam menuju Amerika.
Leave a Reply