Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Kembali ke Lumbung

Written in

by

2001_November_Edisi 130_Nuansa:
Kembali ke Lumbung



Kearifan lumbung semakin memudar. Padahal, lumbung dapat menjadi tembok pertahanan terakhir petani terhadap krisi pangan, rentenir, hingga kebutuhan benih.

Kata lumbung barangkali telah menjadi kata yang hilang dalam kamus petani kita. Itu terbukti dari banyak kampung yang kini tak lagi memiliki lumbung. Padahal bagi masyarkat yang hidup di pedesaan, lumbung bukan merupakan hal yang asing. Dalam sejarahya, lembaga ini pernah “diformalkan” sejak abad ke 20 atau sekitar tahun 1902-an. Melalui Residen Cirebon dan Sumedang (Messman), lumbung desa diperkenalkan secara intensif dan terus mengalami perkembangan. Perkembangan lumbung desa oleh pemerintah penjajah Belanda pada waktu itu dilaksakan melalui Dinas Perkreditan Rakyat atau Debit Voor Volkereditwezen, yang berada di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri.

Setelah masa kemerdekaan tahun 1945, pelaksanaan pengembangan lumbung desa mengalami situasi pasang surut. Kondisi demikian sangat terkait dengan situasi sosial-politik negara yang baru mengalami kemerdekaan pada saat itu. Walau demikian eksitensi lumbung desa tetap berjalan meskipun cukup sulit.

Memasuki pemerintahan Orde Baru, maka mulai ahun 1969, dengan program Instruksi Presiden (Inpres) tentag Bantuan Pembangunan Desa, lumbung desa banyak berkembang secara swadaya masyarakat, tanpa adanya pembinaan intensif dari pemerintah. Dengan pla pembinaan yang “setengah hati” tersebut, peran lumbung desa semakin menyurut. Jumlahnya pun pelan-pelan iku menyusut.

Nilai Sakral

Lumbung sebenarnya tidak sekedar bagunan fisik tempat menyimpan padi. Lebih dari itu, lumbung memiliki nilai-nilai khas yang dijunjung oleh msyarakatnya. Karena itu pula di desa-desa petani memiliki cara-carany sendiri dalam mengapresiasikan lumbung. Lumbung tidak pernah dijadikan tempat menyimpan selain padi. Penghormatan petani kepada lumbung di tempat-tempat tertentu kadang ditunjukkan dengan cara yang ekstrim yaitu dianggap “keramat” dan hanya bisa dimasuki atas kesepakatan adat. Bangunan lumbung pun kadang dirawat jauh lebih baik dibandingkan pondok petani itu sendiri.
Dalam konstelasi yang lebih luas lagi, lumbung menjadi sarana social seperti simpan pinjam, mengatasi paceklik, maupun untuk kepentingan warga sedesa seperti menanggulangi kekurangan pangan, kekurangan modal, maupun kebutuhan-kebutuhan adat. Sayangnya selama ini pemerintah kurang menaruh perhatian untuk mengembangkan lumbung dan cenderung lebih menyerahkan kepada masyarakat.

Kini,di tengah-tengah krisis yang hampir abadi, menegakkan kembali nilai-nilai luhur dari lumbung bukan suatu yang mustahil. Apalagi terbukti, lembaga-lembaga Bulog atau lembaga sejenis dibawahnya yang seharusnya berperan sebagai lumbung tidak dapat berbuat banyak untuk kesejahteraan petani.

Bulog sendiri yang analoginya merupakan lumbung nasional telah menjadi gudang tikus dimana korupsi merajalela di dalamnya. Bagi petani sendiri, Bulog sama sekali tidak banyak memberikan arti. Bulog yang seharusya berfungsi seperti lumbung, membantu petani dalam segala kesulitannya, hingga saat ini belum menunjukkan fungsinya.
Memperhatikan sejarah perjalanan keberadaan lumbung desa, tampaknya pemerintah kurang menaruh perhatian untuk mengembangkannya. Padahal sebagian institusi sosial ekonomi yang tumbuh dari masyarakat, lumbung desa mempunyai potensi besar untuk dijadikan basis perkembangan ekonomi masyarakat desa. Lumbung pribadi, lumbung desa, lumbung kelompok, limbung adat dan bentuk lumbung-lumbung lainnya, adalah suatu bentuk kearifan masyarakat petani yang patut diteladani dan dipertahankam.

Sumber:
Kompas, 1 Oktober 1997
Sudar D, Atmanto, Kompas

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *