Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

2001_Juni_Edisi 125_Bahas:
Indonesia dalam seragam penjaga istana merdeka
Joni Faizal

Atribut identitas seperti apa yang paling tepat untuk mewakili Indonesia? Apakah pakaian? Mungkin ini jawaban yang belum tentu benar. Lihat saja, meskipun selama 30 tahun lebih praktek penyeragaman pakaian telah dilakukan dengan dalih melahirkan semangat persatuan, nyatanya konflik akibat berbagai perbedaan hingga hari ini belum juga bisa dipadamkan, bahkan cenderung meningkat. Masalahnya, ‘persatuan’ yang ingin diciptakan itu lebih berarti sebuah dominasi yang kuat terhadap yang lemah, mayoritas terhadap minoritas, dari pada kesepakatan bersama yang saling menguntungkan.

Pakaian memang sering disebut sebagai salah satu atribut identitas yang paling cepat dikenali. Dengan sifatnya yang demikian, ide penyeragaman sering diwujudkan dalam pakaian; pakaian seragam namanya. Namun, sekalipun bernama seragam, pakaian yang serba sama ini memiliki sifat sebagai pembeda. Malahan, penggunaan seragam sepertiya lebih dibutuhkan untuk menjalankan fungi sebagai pembeda, seperti membedakan antara pramugari dan petugas kebersihan, antara polisi dan petugas kebakaran, dan sebagainya…pembeda ini tentu dibutuhkan supaya kita tidak salah meminta bantuan.

Nah, pakaian seragam baru jadi masalah pada saat dikaitkan dengan sesuatu yang lebih besar, yang mewakili begitu banyak keragaman, seperti masalah nasionalisme Indonesia sebagai negara yang bhinneka. Bukankah masih sering terlintas di benak kita, kenapa kebaya Jawa dan peci yang dijadikan ‘seragam nsional’? Apakah karena kebaya lekat dengan Jawa dan peci identik dengan Islam, di mana keduanya menyandang predikat mayoritas?
Mencari sesuatu yang mewakili Indonesia, tentunya bukan pekerjaan yang mudah, apalagi bila harus diterapkan di sebuah simbol negara, seperti istana presiden. Palig tidak, kesulitan ini dirasakan oleh Samuel Watimena ketika mendapat ‘order’ merancang seragam pasukan penjaga Istana Merdeka, salah satu bagian dari Pasukan Pengaman Presiden.
Mencoba untuk tidak asal mencomot ciri khas pakaian daerah, perancang yang biasa dipanggil Sami ini, mengaku harus bekerja keras untuk memenuhi pesanan tersebut.

“Saya studi hampir satu tahun untuk menemukan ciri itu,” kata Sami.
Dari situlah kemudian lahir yang kini masih dipakai Paspampres yang menjaga lingkungan istana. Pilihan jatuh pada jas tutup ini karena, menurut Sami, model jas ini hampir dijumpai di semua propinsi di Indonesia kecuali Papua. Dengan memberinya warna merah dan dipadu celana berwarna putih, jadilah pasukan ini sebagai simbol bendera Indonesia.

“Kita ini punya ciri khas sendiri kok. Tidak perlu menjiplak. Mana ada di dunia ini yang mempunyai jas penutup seperti kita?” sesederhana itukah?

Tentu saja tidak. Menurut Sami, proses paling awal yang dialaminya adalah semacam briefing tentang apa itu militer, dan Paspampres itu sendiri. Pihak pemberi arahan lebih memberikan pengetahuan kepada hal-hal dasar seperti bagaimana seragam itu harus menampilkan kesan wibawa, resik, apik, tegas, berkarakter, tidak santai, terhormat dan mencerminkan visi dan misi ABRI pada saat itu. Citra rasy at any time, alias Setia Waspada, sebagaimana semboyan Paspampres, tidak ketinggalan harus dapat diperlihatkan pula.

Selain itu, proses yang tak kalah penting adalah belajar tentang budaya, adat-istiadat dan tentang seragam itu sendiri. Perkembangan seragam prajurit jaman dulu, baik di Indonesia maupun di luar negeri juga dipelajari oleh Sami.
Lalu bagaimana pandangan Sami tentang adanya pendapat orang bahwa pakaian Paspampres itu terkesan Eropa, kaku dan tak nyaman untuk prajurit di Negara tropis. “Apakah mesti memakai bahan sarung agar menjawab semua itu?”, ujar Sami, balas bertanya.

Sami yang juga merancang pakaian pengawal istana Brunai ini berpendapat, selagi unsur fungsi yang didalamnya mengandung banyak hal seperti kenyamanan, enak, tidak gerah, dan lain-lain juga ada unsur estetika yang disebutnya tadi, ujar perancang seragam bagi puluhan hotel di Indonesia dan di Malaysia, perusahaan St. Dupont, A mild, dan Rumah Sakit MMC ini.

Seberapa berhasilkah Sami dengan pakaian Paspampres itu merepresentasikan Indonesia?
Barangkali belum terjawab. Tapi menurut Sami, paling tidak ia sudah mencoba untuk mewakili sesuatu yang bersifat Indonesia. Jas tutup yang hampir mewakili seluruh propinsi, kancing berembos padi dan kapas untuk mewakili kemakmuran rakyat (yang masih ingin dicapai), topi yang menjadi karakteristik khas lelaki di Indonesia, seperti layaknya peci, ikat kepala, dan blangkon.

Memang tidak mudah untuk mendiskripsikan Indonesia dalam satu seragam seperti yang dikalukan Sami. Cita-cita seagam yang mencerminkan Indonesia itu pun mungkin belum tercapai. Namun Sami meyakini bahwa keinginannya untuk mengurangi kesan yang sangat militer pada pakaian Paspampres selama ini ada benarnya. Karena negara ini bukanlah negara militer.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *