Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Garis Kemiskinan dan Seniman

Written in

by

Di harian Kompas hari ini, muncul berbagai pertanyaan. Satu di antaranya adalah apakah umumnya seniman di Yogyakarta itu berada di atas atau di bawah garis kemiskinan?

Menurut Bank Dunia Mei 2023, garis kemiskinan Indonesia ada pd Rp47.502,- (3,2USD) /hari. Ditulis di dalam harian Kompas, 22 Juli 2023, halaman pertama rubrik Jendela. Bila menurut angka yg digunakan Badan Pusat Statistik (BPS): standar paritas daya beli (purchasing power parity) 2011, angkanya pd Rp 28.969,- (1,9USD) /hari. Pada Mei 2023 BPS menetapkan Garis Kemiskinan ada pada Rp550.458/bulan.

Menurut situs BAPPEDA (diunduh 22 Juli 2023), jumlah Kepala Keluarga di Yogyakarta per 29 Maret 2023 adalah 1.280.297 atau menurut BPS jumlah penduduknya adalah 4.073.907 orang. Untuk mengetahui proporsi jumlah seniman di dalam masyarakat, kita mungkin dapat menggunakan data dari situs kelurahan suryodiningratan yang menuliskan 0,77% nya adalah seniman. Dengan itu akan muncul 31.369 seniman di Yogyakarta. Sekedar informasi atau sebagai catatan sampingan, menurut data tanggal 22 Mei 2020, terdapat 283 seniman yang terdaftar untuk memperoleh bantuan negara dalam program Apresiasi Pelaku Budaya dalam pandemi Covid 19 yang lalu. Proporsi 283 seniman tersebut merupakan 0,007% dari jumlah penduduk DIY.

Bila diasumsikan terdapat 31.369 seniman di Yogyakarta, dan Pendapatan Asali (Universal Basic Income) diterapkan pada seniman Yogyakarta itu, dan menggunakan angka BPS yang menetapkan Rp550.458,-/bulan* adalah pendapatan minimal sebelum dapat dikategorisasi sebagai miskin, maka akan dibutuhkan lebih kurang Rp17,3 miliar setiap bulan atau senilai Rp207 miliar per tahun. Kurang lebih 3,3% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang menurut Peraturan Daerah DI Yogyakarta Tahun Anggaran 2023 senilai Rp6.305.056.739.358,00 (Enam Triliun Tiga Ratus Lima Milyar Lima Puluh Enam Juta Tujuh Ratus Tiga Puluh Sembilan Ribu Tiga Ratus Lima Puluh Delapan Rupiah). Rp207 miliar itu kurang lebih 35% dari anggaran Hibah yang tercantum di dalam APBD yaitu senilai Rp590.803.519.247,00 (Lima Ratus Sembilan Puluh Milyar Delapan Ratus Tiga Juta Lima Ratus Sembilan Belas Ribu Dua Ratus Empat Puluh Tujuh Rupiah).

Dengan Pendapatan Asali Rp550.458,- per bulan yang diberikan secara langsung kepada 31.369 seniman Yogyakarta, akankah para seniman lebih leluasa dalam berkarya, mendorong Keadilan Sosial bagi rakyat Yogyakarta, bahkan Indonesia? Pertanyaan ini perlu ditelisik dengan hati-hati dan mendalam, demi terwujudnya keadilan itu sendiri. Intinya adalah: Apa argumentasi yang membolehkan kurang dari 1% warga Yogyakarta memperoleh 3,3% dari anggaran yang dipersiapkan oleh pemerintah/negara untuk lebih dari 99% warga Yogyakarta?

Mungkin satu di antara banyak argumentasi yang dapat dibangun adalah dengan menghadirkan perhitungan Social/Cultural Return of Investment (S/CRoI) pada keberadaan seniman di Yogyakarta itu? Ini memang berbeda dengan ideologi yang dianut oleh konsep Pendapatan Asali. S/CRoI memposisikan seniman sebagai objek yang diinvestasikan untuk ‘benefit‘ (bukan keuntungan/profit) di masa depan. Dengan menghitung S/CRoI pada seniman, sebuah rasio ‘dampak positif’ akan muncul. Asumsinya, rasio itu bernilai positif, dan berlipat ganda, terhadap nilai yang diinvestasikan.

Terdapat penelitian SRoI yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro dengan studi kasus Upreneur AIESEC UNIDP. Di dalamnya ada delapan prinsip dalam perhitungan SRoI metode the SROI Network UK, yaitu:

  1. Melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder)
  2. Memahami perubahan
  3. Nilai-nilai yang memiliki arti
  4. Berwujud (tangible)
  5. Pengakuan yang tidak berlebihan
  6. Transparan
  7. Hasil yang terverifikasi
  8. Responsif

Sebelum menentukan adanya Pendapatan Asali itu pun perlu diadakan penelitian dengan menggunakan berbagai teori yang mengkaji kebudayaan, antara lain: Teori Kritis mazhab Frakfurt: Max Horkheimer, Theodore W. Adorno, Marcusse, dan Sirkuit Kebudayaan (Circuit of Culture) dari Cultural Studies yang didorong oleh Stuart Hall dan kawan-kawan. Teori-teori ini perlu disandingkan, diuji oleh dan dengan, tradisi dan praktik yang melekat pada seniman kontemporer Yogyakarta, sehingga memungkinkan munculnya strategi atau bahkan teori baru.

Mengapa Pendapatan Asali ini perlu diusahakan? Pendapatan Asali ini dipercaya merupakan hak dari setiap manusia yang hidup. Untuk hidup ia perlu pendapatan yang menunjangnya secara minimal, sehingga terdapat ruang untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia. Di dalam situasi budaya yang industrial saat ini, manusia telah menjadi objek yang digunakan, bukan menggunakan. Manusia pada umumnya dilingkupi oleh sebuah Industri Budaya yang secara terus menerus mendorongnya menjadi manusia instrumental. Manusia yang merupakan alat bagi penghasilan manusia lainnya. Dengan Pendapatan Asali, seorang manusia kembali memiliki pilihan di dalam hidupnya, yaitu: hidup secara bermartabat, otentik.

Nampaknya, sebuah situasi di abad XVIII yang disebut Aufklarung (pencerahan) itu perlu kembali diramaikan. Sapere Aude kata Manuel Kant. Punya pikiran sendiri! Menolak dogma Industri Budaya yang membuat manusia menjadi instrumen bagi pemodal yang irasional. Memangnya ada pemodal yang rasional? Tegangan antara rasional dan irasional menjadi satu bahasan Horkheimer dan Adorno itu perlu kembali dikaji ulang dalam konteks saat ini. Apakah mendambakan ‘pencerahan’ di dalam ingar bingar tentang kecerdasan buatan dan rantai blok data saat ini merupakan sebuah hal yang irasional?

Kembali ke pertanyaan di awal. Jawabannya: Belum diketahui. Garis Kemiskinan di sini baru menjadi awal munculnya lebih banyak lagi pertanyaan. Maka mari tetap sehat dan bersemangat!

*Upah Minimum Regional Yogyakarta adalah Rp1.981.782,- setiap bulan (20 hari bekerja).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *