2001_Agustus_Edisi 127_Bahas:
Entho Cothot, Cemilan Cerdas Masyarakat Kandangan
Ade Tanesia/Rohman Yuliawan
Masyarakat desa Kandangan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah seharusnya tidak lagi minder hanya gara-gara makanan khas mereka bernama Entho Cothot. Maklum, di luar daerah Kandangan orang sering mengejek sesuatu yang jelek lantaran terlalu sering mengkonsumsi mekanan dari singkong yang bikin cepat kenyang ini. Sebabnya, Entho Cothot tidak lagi melulu singkong namun justru menjelma menjadi nama media komunitas masyarakat Kandangan yang patut diteladani.
Dengan format selembar kertas kuarto (A4) dan terbit setiap pekan, Entho Cothot (EC) telah mampu membuka pikiran masyarakat Kandangan akan pentingnya arti sebuah informasi. Bayangkan saja, masyarakat yang selama ini hanya bisa nggrundel tentang penyelewengan proyek yang terjadi di lingkungannya, kini diajak mencari fakta bersama dan memberitakan temuan-temuan fakta tersebut ke dalam Entho Cothot. Hasilnya, penyelewengan proyek desa yang dilakukan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab itu ditindaklanjuti oleh Bappeda Kabupaten, setelah Entho Cothot memuatnya dalam beberapa edisi dengan investigasi yang tentu saja dilengkapi fakta-fakta akurat.
Bukan itu saja, Entho Cothot yang diawaki oleh suami istri-Singgih dan Tri Wahyuni ini-juga memberikan pembelajaran kepada masyarakat di lingkungannya tentang hal-hal yang terjadi di sekitar mereka. Misalnya saja penyakit gondong yang menjangkiti desa Kandangan beberapa waktu lalu. Dalam tulisan itu, tidak saja diberitakan tentang gondong yang melanda banyak anak-anak Kandangan, melainkan juga diuraikan apa penyebabnya, bagaimana mencegahnya, dan tidak ketinggalan pula dengan sumber-sumber tulisan.
Dan yang tak kalah menarik adalah liputan Entho Cothot mengenai bakal calon (balon) Kepala Desa menjelang pemilihan Kades. Pada edisi ini, Entho Cothot menjadi ajang adu argumentasi serta program yang akan dilaksanakan bakal calon kepala desa bila mereka terpilih kelak. Dalam edisi yang bersambung tersebut, ada pula wawancara Kepala Desa masing-masing. Dari sini, setidaknya calon pemilih tahu kandidatnya dan tidak membeli kucing dalam karung. Di pihak calon kepala desa sendiri, mereka seolah-olah wajib untuk memborong Entho Chotot sebagai media kampanye mereka, meskipun dengan cara meng-copynya kembali.
Pertama terbit pada tahun 1998 atau tepatnya pada hari Kemerdekaan Indonesia ke 53, Entho Cothot tidak bisa dilepaskan dari Lenter@, Lembaga yang diproyeksikan menjadi semacam lembaga Penelitian dan Pengembangan Desa Kandangan. Awal Lenter@ hanyalah forum diskusi yang membahas topik-topik dasar. Dari diskusi itu muncullah gagasan untuk menerbitkan sebuah media.
“Waktu itu belum terpikir bentuknya kayak apa, “tulis Tri Wahyuni melalui email. Namun menurut Trien, nama panggilan Tri Wahyuni, yang pasti isinya masalah-masalah mendasar kehidupan masyarakat kandangan.
“Dorongan dasarnya adalah membuka pemahaman yang lebih luas, yang lebih dasar terhadap berbagai macam hal dalam kehidupan masyarakat terutama Desa saya, Kandangan, “papar Trien.
Dengan format kertas ukuran kuarto yang dilipat menjadi empat layaknya leafleat, Entho Cothot sengaja bertutur denga bahasa yag mudah dicerna orang awam. Kadang dalam kalimat-kalimatnya tak segan-segan diselipkan bahasa Jawa. Namun begitu, banyak pula istilah-istilah populer yang sering dimunculkan elit politik dimasukkan pula dalam bahasa Entho Cothot, misalnya militerisme, impeachment, diet dan saebagainya, yang nantinya istilah itu diterangkan tersendiri di rubric Kamus dengan keterangan yang sederhana pula.
Selain itu rubrikasi Entho Cothot pun dibuat sesuai kebutuhan informasi masyarkat Kandangan. Di luar Topik Utama yang membahas hal-hal aktual di Kandangan, Rubrik Kampung Halaman dibuat untuk mengajak memahami dan mencermati berbagai hal yang ada di Kampung Kandangan, mulai dari menyusutnya tanah pertanian, sampah yang tak tertangani, manfaat pekarangan, sampai masalah susahnya air di musim kemarau. Sedangkan rubrik Ngerumpi memuat hal-hal yang menjadi perbincangan hangat orang Kandangan. Sesuai dengan nama rubriknya, rubrik ini kadang tergolong unik, karena ngerumpiin kejadian yang tidak biasa. Misalnya saja tentang kebiasaan ibu-ibu di Kandangan yang sering menggunakan tablet penurun panas anak-anak untuk melembutkan daging.
Pada edisi-edisi khusus, biasanya Entho Cothot “dicetak” menjadi 4 halaman yang terdiri dari kertas A3 yang dilipat dua. Pada edisi khusus ini biasa rubriknya lebih banyak. Sebagai tambahan, rubrik profile misalnya, bukan saja diwarnai muka-muka tokoh masyrakat, namun banyak pula profile orang-orang Kandangan yang populer, seperti Mbok Pon, pedagang sayur keliling, Darmo Maridi, penjual ketupat tahu, atau Sawali penjual mie ayam.
Boleh jadi, Entho Chotot yang dijual hanya 200 perak ini dapat menjadi model bagaimana sebuah media komunitas memberi arti bagi masyarakat pendukungnya. Ia tidak berada di pihak penguasa, namun justru menjadi kontrol masyrakat, terutama pada hal-hal yang menyimpang dari kebenaran umum.
“Dari pengalaman menerbitkan Entho Chotot saya melihat bahwa msyarakat memerlukan media yang bisa menyuarakan kebenaran, sehingga mereka tidak terus menerus tersingkir dan tertindas.” Papar Singgih, penulis sekaligus ketua Lembaga Lenter@ yang membidani Entho Chotot.
Leave a Reply