Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

2001_Mei_Edisi 124_Milikita:
Daun: Lembar Pembungkus Alami
Roham Yuliawan

Srrrrt. Srreett………………………
Tangan keriput Mbk Rejo dengan sebat namun penuh kehati-hatian menyerutkan bilah pisau sepanjang gedebok daun pisan. Lembar demi lembar daun pisang bertumpuk setengah tergulung di sisi kanan kakinya yang diselonjorkan. Kemudian tangannya meraih tumpukan daun pisang yang terserak, melipatnya tiap tiga lembar menjadi satu bongkak (lipat) yang akan dijualnya seharga Rp. 500,- setiap bongkak.

Hampir genap satu dasarwasa nenek dari tiga cucu ini menekuni pekerjaannya sebagai penjual daun oisang dan biting (bambu seukuran tusuk gigi untuk mengunci bungkusan dari daun dengan cara ditusukkan) di sebuah pasar di daerah Yogyakarta Utara. Di depan pintu masuk pasar tersebut, selain Mbok Rejo, masih ada seorang pedagang lagi yang mengais rejeki dengan berjualan daun pisang.

Daun pisang memang banyak diperjual-belikan untuk dimanfaatkan sebagai pembungkus alami yang sangat berguna dan relatif mudah ditemukan. Mulai dari nasi bungkus, bubur jenang, nasi lontong, kue lemper, tempe sampai bunga tabur. Serat yang membentuk lembaran-lembaran daun ini cukup kuat untuk dilipat apalagi jika dipanaskan terlebih dulu sehingga agak layu dan tidak mudah sobek. Daun pisang juga relatif mudah dibersihkan, cukup mengelap permukaannya dengan kain dan aneka makanan dapat dubungkus dengannya tanpa perlu menambahkan pelapis.

Sebetulnya, selain daun pisang, ada berbagai jenis daun lain yang kerap dimanfaatkan sebagai alat pembungkus. Daun jati, daun kelapa muda (janur), daun pace, daun waru dan lembaran serupa daun yang membungkus buah jagung (klobot) juga banyak dipergunakan sebagai alat pembungkus atau wadah. Daging segar akan lebih tahan lama jika dibungkus dengan daun jati bila dibandingkan denganplastik, karena itu tidaklah mengherankan bila hingga kini masih banyak penjual daging di pasar-pasar tradisional meyendiakan daun jati sebagai pembungkus.

Di daerah di mana banyak ditanam pohon jati, seperti di Gunung Kidul Ngawi, Blora dan beberapa daerah lainnya, daun jati juga dimanfaatkan sebagai pembungkus nasi, tempe atau dibuat menjadi besek (wadah) untuk hantaran kenduri. Daun jati pembungkus dengan kualitas yang paling baik adalah daun yang masih muda karena lebih ulet dan tidak mudah sobek. Aroma daun-daun pembungkus tersebut biasanya terbawa pada makanan yang diwadahi, terutama jika makanan masih dalam keadaan panas atau hangat, semisal masakan nasi, bubur atau jenang. Namun justru aroma semacam itulah yang terkadang lebih disukai oleh para pembeli.

Kini, dengan alasan kepraktisan dan kebersihan, juga pertimbangan-pertimbangan komersial, dedaunan sebagai alat pembungkus mulai digantikan dengan plastik, styrofoam atau aluminium foil. Tempe pun kini tampil lebih “cantik” dengan pembungkus dari plastik yang bersablon nama pembuat. Ketupat yang biasanya direbus dalam pembungkus anyaman daun kelapa muda, mungkin karena alasan kepraktian, juga direbus dalam bungkus plastik. Demikianlah, mungkin sebagiam dari kita tidak lagi sempat menyantap nasi dari pincuk (piring makan dari daun) yang mulai tergeser oleh styrofoam, aluminium foil, dan kertas pun telah menggusur pembungkus dari klobot. Malah kini Anda pun bisa meminta bubur diwadahi dengan plastik. Padahal cara bungkus dengan bahan-bahan alami yang lebih ramah lingkungan sudah menjadi tradisi di berbagai daerah Indonesia.

Meskipun pemanfaatan alat pembungkus sintesis telah semakin marak di tengah masyarakat kita, namun hingga kini pembungkus alami dari daun-daun masih saja ada yang membutuhkan. Entah sampai kapan. “semoga nanti orang tidak membungkus kue lemper dengan plastik, ya nak,” ucap Mbok Rejo setengah bercanda.
Perlahan dia beranjak dari duduknya, melingkarkan kain jahit pada tenggok yang telah kosong dan mulai melanagkah menuju rumahnya sembari menggumamkan harap agar pembungkus daun tetap menjadi bagian dari kehidupan generasi penerusnya.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *