2000_November_Edisi 118_revital:
buah rumah yang menggoda
Joni Faizal
Apakah yang paling menggoda dari sebuah rumah? Jawabannya akan banyak. Mungkin kenangan, kebun, pagar, bentuk, warna, atau malah penghuninya. Tapi jika Anda suatu kali pernah melintas di Jalan Cik Di Tiro menuju Jalan Diponegoro dari arah Latuharhari atau Guntur, di kiri jalan barangkali Anda terpesona oleh satu rumah di perempatan Jalan Cirebon dan Solo. Itulah rumah tinggal Ibu Shudiono, sebuah rumah yang kini masih kerap muncul di televisi menjadi setting iklan Honda dan juga akan ditayangkan. Sinetron Satu Cermin Dua Bayangan.
Kalau rumah ini diminati banyak orang adalah wajar. Bukan saja majalah-majalah lokal telah banyak menulis tentang rumah yang dibangun tahun 1930 ini, namun ada juga majalah asing yang menaruh minat untuk menulisnya. “Saya tidak menghitung, tapi mungkin puluhan ya,” kata Ibu Shudiono menjelaskan berapa sering rumahnya menjadi tempat pengambilan gambar untuk televisi.
Dibeli tahun 1969 dengan cara mencicilnya selama 5 tahun, sebelumnya rumah ini ditempati oleh orang Swiss. Bersama almardum suaminya, Ibu Shudiono rela menukar rumah mereka di Jl. Agus Salim yang jauh lebih bagus. “Feeling saja megatakan rumah ini nantinya akan lebih baik,” cerita ibu Shudiono ketika pertama kami mendapati rumah tersebut masih sangat berantakan.
Menurut Ibu Shudiono sejak pertama dibeli rumah tersebut tidak pernah direnovasi. Hanya catnya saja yang diperbarui. Demikian juga dengan interiornya yng masih asli. Yang juga menarik adalah hampir seluruh perabotannya merupakan hasil buruan Ibu Shudiono di toko-toko loak. “Saya bangga dengan barang bekas di rumah ini, Meja dan semuanya bekas di rumah ini, “ kata Ibu Shudiono memperlihatkan perabot-perabot rumahnya.
Kebun
Taman atau leboh suka disebut kebun oleh Ibu Shudiono di halaman rumahnya memang menjadi pusat perhatian banyak orang. Padahal Ibu Shudiono sendiri mengakui, taman tersebut sebenarnya tidak ditata secara konvensional dan sengaja dibiarkan “liar” dengan pilihan tanaman-tanaman klasik seperti bougenville, tapak dara, dan kamboja. Dari kebun inilah Ibu Shudiono sering kedatangan tamu tak diundang. “Setiap hari ada saja orang yang datang hanya untuk bertanya-tanya atau sekedar memuji. Dan mereka bilang, ‘boleh saya masuk?’. Saya jawab, “boleh-boleh,” papar Ibu beranak lima ini.
Pengalaman berkebun, bagi Ibu Shudiono sudah terbiasa seja kecil. Di tahun 1958-1959, sewaktu Samsul Rizal menjadi walikota Jakarta, dahulu sering diadakan perlombaan kebun pekarangan. Ibu Shudiono selalu mendapat penghargaan. “Waktu itu hadiahnya hanya sabun cuci Sunlight. Tapi saya bangga karena kebun saya mendapat penghargaan dan ada upacaranya di Taman Surapati,” kenang Ibu Shudiono.
Rumah Ibu Shudiono, barangkali hanya sekedar segelintir dari rumah-rumah di Jakarta yang masih bertahan dengan arsitektur tuanya. Tapi dari sini kita banyak belajar bahwa rumah tua juga dapat memberikan manfaat yang tidak ternilai baik bagi penghuninya maupun lingkungan sekitarnya. Suatu bukti bahwa bangunan tua dapat menangguk rupiah jika dirawat dengan baik. Dan selebihnya adalah pemandangan yang bersahaja bagi orang melihatnya, bukan “showroom” kusam, bertembok tinggi, berkesan dingin dan hanya ditempati pembantu dan anjing-anjing galak.
Leave a Reply