1997_akhir Maret_Edisi 065_kenal:
Ahmad dibalik Ronggeng Dukuh Paruk Tohari
Bagi yang pernah menikmati novel trilogy “Ronggeng Dukuh Paruk”, tentunya sudah akrab denga tokoh Srintil. Wanita cantik yang telah dimitoskan menjadi ronggeng dan melakoninya demi masyarakat. Dukuh Paruk yang melarat. Srintil pula yang mendekatkan pembaca pada kehidupan ronggeng, yang mengantar pembaca untuk memahami kehidupan sosial di pedesaan. Namun siapa yang mampu menghidupkan tokoh Srintil dalam benak pembaca? Tidak lain adalah sang pengarangnya, Ahmad Tohari, warga desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas.
“Saya hanya bisa menulis tentang habitat saya”, ungkapnya saat ditemui dikediamannya. Lalu dari tangannya lahirlah trilogy novel “Ronggeng Dukuh Paruk”, “Lintang Kemukus Dinihari”, “Jantera Bianglala”, dan masih ada 6 novel lainnya yang telah diterbitkan. Dan perbendaharaan sastra Indonesia pun menambah satu lagi sastrawan briliannya. Tidak heran jika beliau memperoleh S.E.A Write Award (hadiah sastra untuk Asia Tenggara) 1995. Namun ada ungkapan yang sangat menarik…”Saya tidak pernah bercita-cita menjadi penulis”.
Ahmad Tohari lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Ayahnya seorang tokoh politik yang tentunya tidak kering akan berbagai bacaan, sehingga tidak sulit bagi Ahmad Tohari untuk memperoleh bacaan. “Dulu setiap minggu, saya siap menunggu ayah pulang dari kantor, karena beliau pasti membawa Koran kiriman dari Jakarta. Memang, sejak belum masuk sekolah dasar, saya sudah maniak membaca. Bacaan apapun saya lahap”, ungkapnya. Hobby ini berlangsung terus sampai beliau mencoba menuliskan berbagai pengalaman dan pemikirannya kedalam catatan harian. “Waktu kelas 2 SMA, saya pernah jatuh cinta sama anak tukang terasi. Itupun saya tulis di catatan harian saya…Lucu kalau dilihat lagi”, ujarnya sambil tertawa. Lepas SMA, Ahmad Tohari melanjutkan studinya ke universitas. Beliau pernah menjelajahi beberapa fakultas, ekonomi, sospol dan kedokteran yang semuanya tak pernah ditekuninya. “Ketika di fak. Kedokteran, ditengah masa studi, tiba-tiba keluarga tak bisa meneruskan biaya saya. Disaat goyah itulah, saya menulis dari puisi cengeng, cerpen, dll”, paparnya. Tulisannya dibuat bukan untuk menerbitkan sampai seorang teman mengusulkan agar karnyanya dikirim ke majalah. Usulan ini dirasa menarik olehnya, dan ternyata usul tersebut benar adanya. Di tahun 1971, untuk pertama kalinya cerpen Ahmad Tohari dimuat di sebuah majalah kecil di Jakarta. Disusul lagi oleh kemenangannya dalam lomba cerpen radio Nederland tahun 1975. Ahmad Tohari mulai yakin akan jalur di bidang penulisan. Namun kepercayaan dirinya semakin kuat ketika harian Kompas memuat novelnya….Kalau Kompas menerima, maka saya pikir yang lain pun akan menerima karya saya, disitulah saya benar-benar memiliki rasa percaya diri untuk menjadi penulis”, ujarnya lebih lanjut. Bersamaan dengan kepercayaan dirinya, karir beliau sebagai penulis pun sungguh melesat.
Novel pertamanya adalah “Dikaki bukit Cibalak”, kemudian “Kubah” yang terbit tahun 1980 dan dinyatakan sebagai karya fiksi terbaik tahun tersebut oleh yayasan buku utama. Namun karyanya yang paling banyak dibicarakan khalayak dan telah diterjamahkan kedalam bahasa Jepang, Inggris, Jerman, Belanda dan Cina adalah trilogy novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pemaparannya tentang kehidupan wong desa sangat gamblang dan detil, pembaca benar-benar ikut masuk ke alamnya, juga turut merasakan berbagai gejolak yang terjadi di masyarakat desa. “Ketika menulis Dukuh Paruk, emosi saya memang turut masuk dengan total. Kehidupan ronggeng itu memang ada, jug makam keramat di Dukuh Paruk bisa dilihat kalau anda mau. Saya seringkali ditanya mengenai penulisan ronggeng ini dengan latar belakang lingkungan saya di pesantren. Kehidupan ronggeng seperti layaknya hiburan rakyat Tayuban di Jawa Timur atau ledek, tidak pernah lepas dari seks dan alcohol. Tetapi buat saya, bukan persoalan porno yang ditekankan, melainkan bagaimama mengungkapkan kehidupan wong cilik, alam pemikiran mereka, kesakitan mereka dengan jujur tanpa harus ada yang ditutupi”, ujarnya dengan serius. Menulis tentang wong cilik nampaknya bagian dari ibadah beliau, karena baginya kepuasan diri terlaksana pada usaha kita mendekatkan diri pada Tuhan. Tuhan selalu ada didekat orang-orang yang sakit secara fisik maupun hati, tidak heran jika semua karya Ahmad Tohari mengangkat personal di desa. Itu pula yang menyebabkan dirinya enggan meninggalkan kampung halamannya, karena desanya merupakan sumber inspirasi utama seluruh karyanya. “Waktu menjadi fellow writer di universitas IOWA, Ameika saya diminta untuk menulis. Tapi saya sulit sekali”, ungkapnya lagi. Bahkan saat ini sebagai penulis kolom di harian Suara Merdeka, bukan berarti beliau harus “stand by” di kantor. Cukup mengirimkan tulisannya melalui modem di Purwokerto, karena saluran telephone belum sampai di desanya.
“Saat ini, 75% dari hidup saya diberikan untuk penulisan kolom, bukan fiksi, mungkin hanya 25%. Namun inipun merupakan tantangan. Saya tidak ingin menulis kolom yang kesannya mengajari pembaca. Maka saya pun membuat gaya tulian yang mirip panggung ketoprak dimana pembaca bisa terlibat dalam penulisan kolom ini. Sayapun lebih banyak mengambil dari persoalan-persoalan kecil, buka persoalan besar yang ada di media massa”, ungkapnya lebih lanjut. Kemudian kolomnya telah diterbitkan menjadi buku “Mas Mantri Gugat”.
Disamping menulis fiksi dan kolom, beliau pun membuat kamus Jawa dialek Banyumas Apa sebenarnya perbedaan kultur Jawa Banyumas dengan Yogya atau Solo? Menurutnya Banyumas memiliki cablaka yang menenmpatkan hubungan antar manusianya dalam posisi yang lebih egaliter. Berbeda dengan Yogya dan Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa yang kental sifat feodalismenya. Sehingga budaya semacam itu tidak lagi tepat untuk direkomendasi untuk diterapkan dalam kondisi masa kini yang sudah republic. Akan lebih cocok jika menerapkan budaya yang lebih egaliter.
Nampaknya muatan lokal yang meresap hingga tulang sumsum ini menjadi energy yang tidak ada habisnya untuk Ahmad Tohari, baik dalam karyanya maupun kehidupan sehari-harinya. Buktinya sebuah pandangan yang luas tidak melulu identik dengan kehidupan di kota. Dan Ahmad Tohari tetap memantau jagat besarnya melalui jagat kecil di desa Tinggarjaya, Banyumas.
Sumber: Hasil wawancara dengan Ahmad Tohari di kediamannya, desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas-Jawa Tengah
Leave a Reply