2001_Januari_Edisi 120_peduli:
sersan wibawa sudah waktunya “pension”
Joni Faizal
Sebuah patung polisi atau seperti yang sering disebut dengan nama yang menempel di dadanya “Sersan Wibawa”, di kota Jayapura suatu pagi digantungi tulisan, “He Jawa…pulang kamu ke Jawa!”. Penulisanya barangkali bukan rasialis, namun menurut sebuah situs yang menuliskan kisah ini mengungkapkan, kesalahannya Cuma satu, bentuk antropometrinya mirip orang Jawa, bukan orang Irian!
Apa yang dapat kita amati dari kisah patung polisi di atas tidaklah sederhana. Patung polisi yang banyak lahir di tahun 90-an ini merupakan tinggalan gaya pemerintahan orde baru yang militeristik dimana seluruh sisi kehidupan masyarakat ingin diseragamkan, didisiplinkan, yang esensinya ditakut-takuti. Namun bentuk-bentuk teror negara dengan meletakkan patung polisi di berbagai ruas jalan strategis, nampaknya tak merubah kedisiplinan masyarakat pada aturan lalu lintas. Kalau ada, itupun tidak berlangsung lama. Alasan bahwa masyarakat cendenrung akan tertib jika ada polisipun ternyata gugur, karena masyarakat tidaklah sebodoh yang dikira. Sehingga kehadiran “Sersan Wibawa” ini perlu dikaji ulang. Karena tidak saja membuat estetika ruang kota terdistorsi (biasanya dibuat di daerah strategis), tetapi juga melulmpuhkan kewibawaan polisi itu sendiri. Bayangkan jika patung polisi yang rusak di sebuah perempatan jalan dalam satu hari berubah-rubah posisi tangannya hanya gara-gara kerangkanya mudah dibengkokkan?
Di banyak kesatuan Kepolisian, khususnya lembaga pendidikan dan latihan, di pintu masuk atau tempat stategis kadang terdapat relief atau atribut berbentuk prasasti dan tutup kepala polisi. Tujuannya, menurut rasa hormat dan menghargai etika kepolisian yang tersirat pada benda itu. Bahkan khusus bagi siswa dan staf kesatuan diwajibkan untuk menghormati setiap kali melewatinya, sebagai manisfestasi pengakuan dan kesanggupan untuk melaksanakan norma-norma yang terkandung di dalamnya. Jadi, sangat ironis ketika patung polisi menjadi bahan cemoohan masyarakat. Wibawa polisi (baca: Wibawa Hukum) yang seharusnya tegak malah jadi mandul.
Monumen yang ingin disakralkan, meminjam istilah Huizinga dalam Homo Ludens, melemah menjadi tujuan “rasa iseng”. Menjadi main-main! Dan yang perlu pula dicatat, patung polisi tersebut tidak berbiaya murah. Diperlukan sekian sak semen, sekian meter besi cor, sekian kubik pasir, sekian kaleg cat, dan manfaatnya diragukan kecuali membuat warga kaget dalam sesaat.
Membangun kewibawaan polisi, apalagi polisi Indonesia, memang merupakan tugas nerat. Di satu sisi masyarakat ingin polisi menjaga citranya, berwibaawa, smentara belum bisa disiplin (lo minded) dalam arti yang sebenarnya. Kecuali itu, polisi jua dibebani tugas berat karena rasio jumlah polisi Indonesia jauh lebh sedikit dibanding negara-negara lain atau seperti yang ditentukan PBB. Rasio polisi dengan penduduk di Indonesia hanya 1:927, jauh dibanding dengan rasio yang ditentukan PBB 1: 400. Hal ini duperparah lagi dengan anggota Kamra yang telah benyak membantu polisi beberapa tahun ini pun kini dihentikan. Mau tidak mau polisi harus bertahan dengan keadaan seperti sekarang. Namun untuk menambah anggotanya di jalan raya, tentu saja kita tidak dapat mengulangi sejarah lama dengan mengandalkan “Sersan Wibawa”. “Sersan Wibawa” harus segera dipensiunkan!
Jika patung polisis tidak lagi berdiri di banyak perempatan jalan, setidaknya salah satu penyebab polisi diolok-olok, akan berkurang. Dan yang lebih penting, kewibawaan polisi tidak terletak pada patung-patungnya, tetapi pada kinerja kepolisisan itu sendiri. Masyarakat pun dituntut untuk berdisiplin meskipun tanpa polisi. Sebab, menurut Walter Hartinger, pakar kepolisian AS, untuk melihat citra polisi lihatlah keadaan masyarakat pada keadaan yang sama. Karena pada dasarnya, polisi hanya bagai cermin yang membiaskan wajah masyarakat.
Leave a Reply