2001_April_Edisi 123_Bahas:
40 hari di tepi kubur
Rohman Yuliawan
Kematian seorang warga yang bertepatan dengan hari Jum’at atau Selasa kliwon, bagi masyarakat Jawa Tengah dianggap memiliki nilai khusus. Jasadnya harus selalu ditunggui sejak disemayamkan di rumah duka sampai ketika mayat di turunkan ke liang kubur dan diteruskan sampai tujuh hari atau malah empat puluh hari setelah penguburannya. Apa pasal? Ternyata kubur orang yang meninggal pada hari yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa kerap menjadi sarana para pencari jimat atau pesugihan (kekayaan). Menurut Madi, penduduk kecamatan Semanu Gunung Kidul, hal ini dikarenakan keistimewaan orang yang meninggal pada hari Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon, “Tubuh si mati konon tidak akan membusuk sampai seribu hari dan arwahnya dapat dikuasai dengan memiliki bagian-bagian tertentu dari mayat,” katanya. Di wilayah Gunung Kidul, menurut ingatan Madi pernah beberapa kali terjadi pembongkaran kuburan dengan tujuan mistik.
Ada kepercayaam yang mengatakan bahwa potongan kain kafan pembungkus jasad si mayat dapat membuat seseorang tak terlihat oleh orang lain. Jimat potongan kafan tersebut selain gumpalan tanah pengganjal tubuh mayat untuk ilmu sirep, banyak diburu oleh orang-orang yang berprofesi sebagai maling. Ada lagi yang mencoba melepas tali pocong si mayat atau menggigit telinga kirinya sebagai syarat untuk memperoleh kekayaan. Bahkan ada yang memenggal kepala mayat atau jari kelingkingnya untuk dijadikan jimat atau syarat menguasai ilmu hitam. Tentu saja mereka harus menggali kubur untuk memperoleh benda-benda tersebut, itupun konon harus dilakukan dengan tangan telanjang tanpa bantuan alat seperti halnya binatang buas menggali tanah dan apa yang berhasil diperolehnya mesti dibawa dengan gigitan mulut.
Anggota keluarga si mati, setidaknya yang mempercayai kisah itu, biasanya meminta masyarakat atau mengupah beberapa orang yang dipandang memiliki kelebihan dalam ilmu gaib untuk menunggui kubur kerabatnya guna menghindarkan kuburnya diacak-acak oleh pemburu jimat. Walaupun sudah ada orang upahan misalnya, tak jarang masyarakat sekitar juga ikut meronda di area perkuburan secara bergantian sebagai bentuk solidaritas sosial mereka. Diterangi cahaya lampu petromax atau lampu neon jika sudah tersedia jaringan listrik, para penunggu kubur mencegah kantuk mereka dengan main kartu atau sekedar mengobrol sembari menyantap suguhan yang disediakan oleh keluarga si mati. Para penunggu kubur ini harus waspada sepanjang malam, terutama jika ada kejadian-kejadian aneh di seputar areal pemakaman.
Menurut penuturan Farid, yang mengaku pernah ikut menunggui kubur kakeknya yang meninggal di hari Selasa kliwon, ada kejadian aneh berupa anjing yang menggali tanah di luar area pemakaman dan bersamaan dengan itu tanah tepat di kuburan kakeknya ikut tergali secara misterius. Ketika para penunggu kubur menghalau anjing tersebut tanah di atas kuburan pun berhenti tergali. Diyakini anjing tersebut adalah anjing jadi-jadian yang hendak mengambil salah satu bagian tubuh atau pembungkus mayat. Begitulah tradisi yang berlaku tengah masyarakat Jawa, bahkan setelah mati pun ternyata orang masih membutuhkan orang lain untuk menungguinya.
Leave a Reply