Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

berkantor di rumah

Written in

by

2001_April_Edisi 123_Gaya:
berkantor di rumah
Ade Tanesia/Joni Faizal

“Kalau bekerja di rumah, maka anda tidak diperbudak oleh waktu. Sebaliknya anda menjadi tuan atas waktu. Kapan mau istirahat, kapan mau bekerja, sepenuhnya berada dalam otoritas anda, yang penting target pekerjaan selesai pada waktunya. Inilah yang tidak kita dapat ketika bekerja di kantor.” Demikian seorang penulis yang menggunakan rumahnya sendiri sebagai tempat kerja.”

Pada kemajuan teknologi komunikasi lah kita harus berterimakasih, sehingga memungkinkan seseorang bekerja di rumahnya sendiri. Hanya dengan akses internet, komputer, telepon, fax, segala pekerjaan bisa dilakukan di rumah, tanpa harus hadir di kantor. Sehingga tidak jarang sebutan lain untuk berkantor di rumah adalah “virtual office”. Teknologi ini memang telah menghapuskan sistem absensi dan tetek bengek peraturan kantor, namun yang diutamakan adalah profesionalisme, kepercayaan dan kedisiplinan waktu. Disamping faktor teknologi, semakin mahalnya ruang untuk dijadikan kantor menyebabkan bekerja di rumah sebagai solusi untuk lebih efisiensi. Di negara barat sendiri, gejala ini dianggap sebuah solusi untuk mengatasi kesenjangan jarak antara orang tua dan anak. Apalagi untuk seorang wanita yang mempunyai anak kecil, dengan bekerja di rumah ia tetap dapat memperhatikan anaknya sambil menjalankan tugas-tugas kliennya.

Dibalik begitu banyak kondisi menggiurkan, namun bekerja dirumah juga mempunyai kelemahan. Menurut Mira Tripuspita, Konsultant Senior di perusahaan pengembangan kinerja eksekutif Experd, sistem evaluasi dan monitoring sulit diterapkan oleh perusahaan terhadap karyawannya yang bekerja di rumah. “Sekarang coba tebak bagaimana anda tahu saya bekerja 8 jam sehari di rumah? Anda 8 jam buka imel atau internet sedangkan separuh dari jam tersebut digunakan untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Jadi kendalanya antara sistem evaluasi atau monitoring”, ungkap Mira. Di sampin itu, bekerja penuh di rumah selama lima hari, tanpa bertemu dengan tim kantor menyebabkan sense terhadap produk/jasa menjadi berkurang. Akibat di rumah terus menerus, maka sosialisasi terhadap teman kantor juga berkurang, sehingga orang yang bekerja di rumah lebih berorientasi pada performance individual dan kurang perhatian pada tim kerja. Menganai kurangnya sosialisasi dengan teman memang kadang dirasakan oleh Antariksa yang berkerja sebagai penulis untuk beberapa portal berita di web. Menurutnya kadang ia merasa bosan, karena tidak punya teman yang secara intens dapat berbincang soal pekerjaan. Namun hal ini diatasinya dengan tetap bergaul dengan komunitas yang visinya kurang lebih sama dengan dirinya. Pengesahan wawasan bisa diperoleh dari pergaulan tersebut. Bagi orang yang berkantor di rumah ini, rasa bosan memang sering tak terelakkan, kadang dirirnya jadi seakan berada dalam kondisi kerja selama 24 jam dan tak bisa istirahat. Memang dibutuhkan sebuah kedisiplinan pengaturan waktu yang ketat, sehingga secara jelas ada waktu kerja, waktu istirahat, waktu untuk keluarga dan waktu untuk berhubungan sosial.

Sehubungan dengan sulitnya evaluasi, maka kepercayaan juga merupakan taruhan bagi orang yang bekerja dirumah. Integritas seseorang terhadap pekerjaannya sangat penting di sini. Misalnya saja seorang copy writer freelance yang sudah berjanji untuk menyerahkan pekerjaannya pada waktu tertentu, bisa saja melanggar janjinya dan perusahaan iklan tersebut pun harus bersusah payah menjelaskan keterlambatan tersebut pada kliennya. Oleh karena itu, sebaikknya sistem virtual office ini tidak diterpakan selama lima hari kerja. Seseorang tetap dijadwalkan untuk ke kantor, sehingga jika ada orang yang membutuhkannya dapat langsung ditemui.

Menurut Mira tipe bekerja di rumah ini belum begitu banyak di Indonesia, hanya pada bidang-bidang tertentu saja seperti penulis lepas . “Jenis pekerjaan di Indonesia masih team base, sehingga koordiansi dengan sistem kerja semacam itu sulit diterapkan”, ungkapnya. Di samping itu ternyata citra perusahaan itu masih dilihat dari kondisi kantornya. Sehingga ketika terjadi hubungan kerja, maka biasanya klien ingin datang ke kantor untuk melihat keseriusan perusahaan. Karenanya tidak heran jika sebuah perusahaan masih ngotot untuk menyewa tempat mewah atau di gedung perkantoran yang bergengsi. Namun di masa mendatang, dengan semakin merata dan canggihnya teknologi komunikasi, bukannya tidak mungkin gejala bekerja di rumah ini semakin merebak di Indonesia. Hanya memang tak bisa dipungkiri, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan hubungan-hubungan sosial dengan sesamanya. Sehingga tetap dibutuhkan ruang-ruang khusus untuk pertemuan dengan rekan sekantor, apalagi jika hendak menyatukan visi perusahaan. Mungkin sangat menarik jika bisa memadukan dua kebutuhan tersebut, yaitu membuat sistem kerja lebih efisien yang didukung dengan integritas profesi yang kuat, misalnya dengan bekerja di rumah. Namun tetap menjaga kesamaan visi melalui pertemuan-pertemuan berkala dengan rekan sekerja.

Tags

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *