Berpikiran terbuka itu konon menyehatkan jiwa.

Bemo.. bemo.. coba bawa saya

Written in

by

Nina Masjhur

Semasa hidupnya, almarhum ibu saya itu jagoan nyetir. Semua mobil yang sempat hadir di keluarga kami, dari jeep willys militer sampai Datsun truk pick-up, dikendarainya dengan piawai. Namun, apa pun merek mobilnya, semua itu adalah mobil-mobil dinas ayah. Alias, bukan milik keluarga kami sendiri. Maka, saya tak heran kalau satu dari dua cita-cita ibu adalah mempunyai mobil miliknya sendiri, dan atas namanya sendiri—cita-citanya yang satu lagi adalah memiliki rumah pribadi yang juga atas namanya sendiri, berhubung puluhan tahun keluarga kami tinggal di rumah yang termasuk bangunan VB milik pemerintah.

Satu kali saya menyangka pada akhirnya cita-cita ibu akan mobil sudah terkabulkan. Waktu itu seorang oom—adik kandung ibu—melungsurkan sebuah Daihatsu hi-jet miliknya ke ibu. Memang bukan mobil baru, namanya juga lungsuran, tapi, yang jelas ini bukan mobil dinas ayah atau siapa pun di keluarga kami. Ini mobil pribadi. Ibu pemiliknya, sejak nama pemilik di STNK berganti menjadi nama ibu. Akan tetapi, ternyata bagi ibu mobil pemberian adik tercintanya itu belum sukses menuntaskan cita-citanya memiliki mobil sendiri. Waduh, ada-ada aja deh ibu ini…

Selama beberapa tahun ibu wira-wiri dengan hi-jet lungsuran tersebut, sampai akhirnya ibu berhasil membeli mobil sendiri. Dengan uang hasil beliau bekerja sebagai penerjemah. Merek mobil yang dipilih ibu adalah Daihatsu. Pasti karena mobil yang terakhir dipakainya adalah merek tersebut, demikian bodoh-bodohnya saya berpikir. Tapi rupanya saya salah. Dari adik bungsu saya yang laki-laki itu, saya dapat informasi bahwa ada alasan lain, dan yang lebih spesifik lagi mengapa merek itu yang diincar ibu. “Lihat tuh bemo-bemo. Sejak 1960-an sampai sekarang mereka masih terus jalan. Keluaran Daihatsu itu, merek bagus dan kuat kan”. Demikian kurang-lebihnya yang dikatakan ibu ke adik saya, yang lalu sampai ke saya.

Aaaaaah…, bemo! Tahu saja ibu saya ini bahwa bemo adalah salah satu produk pabrikan Daihatsu. Dasar supir sejati, rupanya beliau mengamati betapa kendaraan roda tiga yang satu ini bahkan sampai awal abad ke-21 masih mengarungi jalanan-jalanan panas ibukota. Tetap tegar menderum meski harus bertarung dengan jenis roda tiga lainnya yang belakangan tumpah ruah di Jakarta. Tak jeri pula bersaing dengan berbagai tipe angkutan umum lainnya.

Bemo alias becak motor, pada sejarahnya masuk di Jakarta sekitar 1962, menjelang berlangsungnya event olahraga Ganefo. Kendaraan khas asal Jepang ini, di luar Indoensia disebut sebagai Daihatsu Midget. Sebab, kendaraan beroda tiga yang konon sejatinya diproduksi sebagai kendaraan angkutan barang di pedesaan ini, merupakan sebentuk truk kecil alias truk kerdil. Entah mengapa di Indonesia bemo lalu menjadi angkutan di perkotaan dan menjadi alat transportasi manusia. Bila Anda pernah naik bemo, pasti ingat betapa sesaknya enam orang duduk di belakang. Lengkap dengan adu dengkulnya. Karena memang awalnya peruntukannya bukan sebagai alat angkut manusia sih…

Ada yang mengatakan bahwa pangsa pasar si midget ini di Jepang-nya adalah kaum perempuan. Sejauh ini saya belum memperoleh catatan atau tulisan yang memperkuat pendapat tersebut. Yang pernah saya temukan dalam sebuah manga—komik asal Jepang—adalah, kehadiran seorang tokoh perempuan, meski bukan tokoh utama dalam cerita, yang menggunakan truk mini beroda tiga tersebut sebagai kendaraan pribadi bak terbuka.

Bagi saya sendiri, bemo adalah kendaraan spesial, meski saya bukan benar-benar pelanggan setianya. Waktu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dulu, bemo sempat menjadi bagian dari fantasi masa remaja saya. Apabila saya harus memiliki kendaraan pribadi, maka pilihan saya adalah bemo. Tanpa berpikir jauh bagaimana realisasinya, sebagaimana banyak impian-impian centil masa remaja lainnya. Dan juga tokh tidak pernah benar-benar berniat untuk bisa menyetir kendaraan bermotor. Tapi, yang mengejutkan adalah, ternyata ide bemo sebagai kendaraan pribadi bukan semata hanya ada di kepala saya. Sebuah majalah remaja di Jakarta pada suatu masa, di tiap penerbitannya menyajikan komik strip satu halaman di cover dalam belakangnya. Tokoh utama komik itu adalah seorang lelaki muda. Kendaraan pribadinya bukan sepeda motor atau mobil, melainkan—ya, tepat sekali dugaan Anda—sebuah bemo.

Tadi sudah saya sebutkan bahwa saya sebenarnya bukan pelanggan sejati bemo. Saya lebih seringnya melihatnya berseliweran saja, tapi saya suka sekali dengan penampilannya yang khas itu. Lalu, kenapa bisa saya bukan pelanggan setianya? Pertama, mungkin karena bemo tidak berseliweran di daerah perumahan tempat saya tinggal. Tapi, di dekat-dekat tempat saya sekolah dan juga kuliah, adalah tempatnya berkeliaran. Hanya saja, saya ini anak tentara—kemudian jadi anak pensiunan tentara—dengan persoalan-persoalan ekonomis. Apabila jarak yang harus saya tempuh tidak terlalu jauh, maka biar pun ada bemo secara mandatoris saya harus berjalan kaki. Kalau jaraknya cukup jauh tapi ada transportasi umum yang lebih murah, biskota misalnya, secara mandatoris juga, harus memilih yang itu. Bila tidak ada biskota, nah, baru lah saya berhak menikmati sebuah kemewahan yang bernama ‘naik bemo’. Hmmm…, senangnyaaa…

Ingat Malari tahun 1974? Bagi saya, peristiwa tersebut menjadi bagian dari kenangan saya akan bemo. Bukan karena mentang-mentang Malari merupakan sebuah gerakan anti Jepang, sementara bemo berakar di negara tersebut. Ceritanya begini. Waktu itu saya masih duduk di kelas satu SMP, dan hari itu merupakan hari pelajaran luar kelas berenang. Tempatnya di kolam renang Cikini, yang dilalui oleh bemo ke Manggarai. Kalau pulang kami selalu ramai-ramai naik bemo. Saya turun di Megaria, sedangkan teman-teman yang lain lanjut terus karena mereka tinggal di sekitar Manggarai. Setelah turun, mata saya terus saja melihat ke bemo tadi sampai hilang di pengkolan. Tiba-tiba saja liwat sebuah mobil buatan Jepang dengan seorang lelaki yang bertelanjang dada berdiri di atapnya, membanting sebuah botol ke jalanan aspal sembari berteriak entah apa (botol bir sepertinya). Selanjutnya, tak ada lagi kendaraan apa pun yang melintas. Saya lalu mengikuti orang-orang yang ramai-ramai berjalan kaki menuju Salemba melalui RSCM. Terus sampai rumah saya di daerah Polonia Cipinang Cempedak, dekat Otista, di Jakarta Timur. Di persimpangan Salemba ada mobil dibakar. Untungnya bemo yang membawa teman-teman saya aman-aman saja.

Sederhananya pemikiran saya, Malari tak cukup sukses menghentikan seliweran mobil-mobil Jepang secara permanen. Termasuk bemo tentu saja, si biru di sekitar Jakarta Pusat, atau si jingga dan si merah di daerah Jelambar, Jakarta Barat. Bahkan sampai sekarang, hampir sepuluh dekade sejak ibu menguatkan niatnya hanya mau membeli mobil dengan merek Daihatsu. Walau pun, mungkin topi yang kita angkat seharusnya dipersembahkan kepada para mekanik lokalnya di Indonesia. Sebab, sesungguhnya berkat mereka lah si Daihatsu midget ini masih terus meluncur tak tertahankan. Meski suku cadang aslinya sudah tidak bisa diperoleh. Karena, produksinya sudah lama dihentikan oleh pabrik pembuatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *